Keluarga merupakan tempat belajar anak berkembang, keluarga juga menjadi pondasi dasar dalam pembentukan karakter, perilaku, dan pola pikir seorang anak. Di dalam lingkungan keluarga, anak-anak tidak hanya memperoleh kasih sayang dan perlindungan, tetapi juga membangun kemampuan sosial dan emosi yang akan mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Namun, banyak kasus yang menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak, justru menjadi lokasi di mana anak mengalami kekerasan. Kasus kekerasan dalam keluarga begitu populer belakangan ini, pelaku (baik seorang ayah maupun ibu) terkadang masih membentengi sikap kekerasan yang mereka lakukan sebagai "parenting" yang diturunkan sejak dahulu. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekitar 11.279 kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada tahun 2022, dan sebagian besar kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih sering terjadi, dan komunikasi yang buruk sering kali menjadi akar masalah dari kekerasan ini. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan apakah kekerasan fisik bisa menjadi solusi? atau justru membuat luka hati?
Kekerasan terhadap anak dalam keluarga terjadi karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya adalah tekanan ekonomi, stres pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, hingga stigma tentang "parenting" turun-temurun yang menganggap kekerasan sebagai metode yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap anak, faktanya angka kekerasan masih tinggi. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. Ketika komunikasi dalam keluarga tidak berjalan dengan baik, konflik kecil dapat dengan mudah memicu tindakan kekerasan. Anak yang membutuhkan kasih sayang dan pengertian justru menjadi korban kemarahan orang tua yang tidak mampu mengelola emosi dan mengkomunikasikan masalah dengan cara yang sehat.
Akar permasalahan kekerasan terhadap anak dalam keluarga sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama adalah budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat Indonesia. Dalam budaya patriarki, ayah sering kali dianggap sebagai figur otoritas utama dalam keluarga, dan anak-anak diharapkan tunduk tanpa mempertanyakan keputusan orang tua. Norma sosial ini memperkuat pandangan bahwa orang tua memiliki hak mutlak terhadap anak-anak mereka, bahkan termasuk dalam aspek disiplin dengan menggunakan kekerasan fisik. Menurut penelitian dari UNICEF, sekitar 60% anak di Indonesia mengalami kekerasan fisik atau psikologis dari orang tua atau pengasuh. Contohnya seperti kasus dari seorang ayah yang tega memukuli, menyeret, hingga membakar sang anak dengan korek api lantaran geram dengan sang anak yang seringkali mencuri. Mengutip berita viva.co.id. Namun, penggunaan kekerasan sebagai metode disiplin hanya menciptakan trauma bagi anak dan tidak memberikan hasil positif dalam jangka panjang. Hukuman fisik yang ekstrim tidak hanya mempermalukan anak, tetapi dapat merusak psikologis hingga trauma mendalam yang nantinya akan berpengaruh kepada masa depan anak itu sendiri.
Komunikasi dalam keluarga memegang peranan penting dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Pola komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak dapat menciptakan jarak emosional yang kemudian menjadi pemicu konflik. Ketika orang tua tidak terbuka untuk mendengarkan anak, kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi, dan hal ini bisa menyebabkan mereka merasa tidak dihargai. Komunikasi yang buruk juga berarti orang tua kurang mampu mengelola emosi mereka dalam situasi yang menekan, sehingga anak menjadi korban pelampiasan. Misalnya, ketika seorang anak melakukan kesalahan, orang tua yang tidak memiliki pola komunikasi yang sehat akan cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan atau ancaman daripada mencari solusi bersama. Kekerasan ini sering kali bukan karena kebencian, tetapi karena ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
Dampak kekerasan terhadap anak sangat serius dan bisa berlanjut hingga dewasa. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan berisiko mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan, depresi, dan rendah diri. Selain itu, mereka juga rentan mengembangkan pola perilaku agresif dan menjadi pelaku kekerasan saat dewasa. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Child Abuse & Neglect menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan cenderung memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat dan lebih rentan terhadap penyalahgunaan zat di masa depan. Trauma kekerasan yang dialami di masa kecil dapat memengaruhi kesehatan mental anak sepanjang hidup mereka dan bahkan menurunkan produktivitas serta kemampuan mereka untuk berkontribusi dalam masyarakat.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam menangani kekerasan terhadap anak tidak dapat diabaikan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi untuk melindungi anak dari kekerasan, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain itu, upaya penyuluhan dan kampanye tentang pola asuh yang sehat perlu diperkuat agar masyarakat semakin memahami bahwa kekerasan bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak. Masyarakat juga memiliki peran penting untuk tidak menormalisasikan kekerasan dalam keluarga. Dengan tidak lagi menganggap kekerasan sebagai hal biasa dalam mendisiplinkan anak, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perlindungan hak-hak anak. Dukungan dari tetangga atau keluarga besar dalam melaporkan kasus kekerasan juga sangat penting untuk melindungi anak dari situasi berbahaya.
Untuk mencegah kekerasan terhadap anak, peningkatan kualitas komunikasi dalam keluarga adalah langkah pertama yang harus diambil. Keluarga harus berusaha membangun komunikasi yang terbuka dan saling menghargai, di mana anak merasa aman untuk menyampaikan perasaan atau pendapat mereka tanpa takut dihukum. Orang tua bisa belajar untuk mendengarkan anak dan memahami perspektif mereka sebelum mengambil tindakan. Dalam situasi yang menekan, orang tua juga bisa mencoba untuk mengelola emosi mereka dengan mencari bantuan atau berbicara dengan pihak ketiga yang netral sebelum melibatkan anak dalam konflik.
Pendidikan pola asuh juga penting untuk membantu orang tua memahami cara-cara mendidik anak tanpa kekerasan. Melalui pelatihan atau workshop pola asuh, orang tua bisa belajar teknik disiplin yang efektif dan positif. Langkah-langkah sederhana seperti memberikan reward atas perilaku baik anak atau berbicara dengan nada yang lembut saat menasihati dapat membantu menciptakan lingkungan keluarga yang sehat. Ketika orang tua mengetahui cara berinteraksi dengan anak tanpa kekerasan, mereka akan mampu membangun hubungan yang lebih harmonis dalam keluarga. Dengan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H