Lihat ke Halaman Asli

Popularitas Ahok Wujud Krisis Memori, Visi, dan Stok

Diperbarui: 22 Maret 2016   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

14 March 2016

Zely Ariane

Harian Indoprogress

SEBAGIAN besar anda mungkin sedang mendukung Ahok dengan menjadi “temannya” atau karena tidak ada alternatif yang cukup menjanjikan. Ahok sudah memikat hati banyak pemirsa karena satu hal penting: dia tidak punya basa basi feodal ala elit politik kebanyakan negeri ini. Satu aspek (saja) yang menyetarakannya dengan Gus Dur, membuatnya selangkah lebih maju dari Joko Widodo.

Tetapi bagaimana agar publik Indonesia sanggup membayangkan seorang figur yang melampaui Ahok? Dan mengapa pula mesti malampauinya?

Apa yang dijanjikan dan dilakukan Ahok bukanlah sesuatu yang luar biasa hebat melampaui harapan masyarakat. Karena politisi negeri ini terlalu korup, pengecut dan tak punya prinsip maka Ahok muncul menjadi alternatif. Tak ada yang secara mendasar baru sedang ia kerjakan dan tawarkan.

Hanya kepemimpinan modern, kelugasan, dan beberapa derajat keberanian. Namun kesemua sifat itu tidak lantas mengubah relasi kekuasaan dan ekonomi yang fundamental bagi keadilan sosial masyarakat. Ahok memang berani dan profesional. Tetapi berani dan profesional atas dasar kepentingan apa dan untuk (melayani) siapa?

Ahok tidak sedang memastikan jaminan akses dan hidup mayoritas orang miskin dari pengurangan keistimewaan minoritas orang-orang kaya raya. Ia juga tidak sedang memperpanjang umur kota melalui penguatan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Ahok hanya sedang mengefektifkan gaya pembangunan yang fondasinya sudah dibangun Sutiyoso, Fauzi Bowo, dan Joko Widodo. Karena fondasinya tidak diganti, maka bangunan apapun yang berdiri di atasnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang punya daya beli tinggi; melayani orang-orang yang punya kapital tebal.

Pusat-pusat kota Jakarta kini semakin “bersih” dan tertib dari lalu lalang orang-orang kere. Gedung-gedung pencakar matahari berlomba tumbuh di Ibu kota. Jalan-jalan bebas hambatan melayani mobil-mobil pribadi ratusan juta rupiah berpenumpang satu dan dua orang saja. Pusat-pusat bisnis dan perdagangan, kota-kota dan taman artifisial, serta hunian-hunian penjamin privilese semua yang bisa bayar demi kehidupan damai baru yang terasing satu sama lain.

Orang-orang miskin Jakarta tiba-tiba hilang dari peredaran. Kemana mereka? Satu diantaranya, yang lima tahun lalu berdagang kaki lima di tempat yang sekarang menjadi Central Park Mall Jakarta, sedang mengadu nasib menjadi tukang ojek di Teluk Wondama, Papua Barat. Kalau saja tidak ada Satpol PP, berjualan di Ibukota baginya lebih menenangkan ketimbang menyesuaikan diri sebagai pendatang dalam penghidupan orang-orang Papua.

Kontradiksi antara kebutuhan dan eksistensi kelas kakap Ibukota dengan kebutuhan dan penyingkiran orang-orang kelas teri semakin nyata. Jakarta hanya buat orang kaya dan orang-orang yang sanggup lembur menggila agar cicilan motor, rumah, dan kartu kredit bisa terbayar; atau bisa eksis menghabiskan weekend di kafe-kafe tengah kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline