31 January 2016
Zely Ariane
‘Hindang makhendangda kharinde yarinde | Rindang
makhendangda kharinde awarinde | Yabu alu bura khafonde yafonde | Yabu alu bura khafonde
yafonde’—Hindang Makhendang,
Mambesak Group
(Berdayung dengan perahu di danau Sentani pada waktu senja, dan
air teduh memberi kesan khusus yang mendalam. Mengenang masa
silam yang penuh ceritera)
BELAKANGAN ini bepergian ke Papua semakin mudah, kalau tidak jadi tren—asal ada uang, akses, plus keberanian dan sedikit petualangan. Saya terseret tren itu bukan karena punya uang, tetapi mencari peruntungan. Jakarta sudah makin sempit, orang-orangnya sudah kelewat ribut, terlalu ‘bikin ko pu diri’ (baca: sombong atau lebay) sampai lupa diri.
Pesawat-pesawat yang terbang ke kota-kota di Papua, memuat lebih banyak orang bertampang melayu. Banyak di antara mereka pegawai pemerintahan, keluarga aparat negara, dan pekerja lembaga non-pemerintah dan bisnis. Saya ada di antara mereka, yang coba-coba tampil beda dengan noken menyilang di dada.
Di kota-kota dan kampung-kampung pesisir seputar Wasior, Manokwari, Sorong dan Waisai, juga didominasi tampang-tampang sejenis saya. Apalagi di pasar, pertokoan dan instansi-instansi (catat: tukang ojek juga). Wajah-wajah Papua masih mendominasi di kampung-kampung pedalaman. Beberapa wajah melayu-Papua tampak, tetapi hidup dan bersikap sangat berbeda dengan melayu-melayu di kota. ‘Saya mesti tinggal, mereka sudah kasi saya makan’, demikian kata seorang Mama perawat honorer dari Pangkep yang sudah 7 tahun tinggal di Kampung Ambumi, Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama.
Kalau sebelumnya pemerintah Orde Baru memobilisasi orang-orang, aparat keamanan, dan investasi ke Papua, kini orang-orang, aparat keamanan, dan investasi tersebut mencari jalannya sendiri. Mungkin ini yang disebut Presiden Jokowi dengan ‘membuka Papua’.
***