Lihat ke Halaman Asli

Untuk Orang-orang Papua: Pemilik Amungsa dan Nemangkawi

Diperbarui: 22 Maret 2016   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

23 November 2015

Zely Ariane

MEWAKILI warga Indonesia, kami mesti minta maaf atas apa yang dibicarakan Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha R, di balik pengetahuan kamorang rakyat Papua.

Kami juga ikut malu atas kedatangan Saleh Husin, Sudirman Said, Sofyan Djalil dan sejumlah pejabat BUMN ke Tembagapura, dengan Airfast milik PT. Freeport, tanpa merencanakannya bersama dengan pimpinan daerah setempat. Dan kitorang saja hampir-hampir tratau harus taruh muka dimana lagi melihat para petinggi Koalisi Merah Putih maju membela Setya Novanto.

Pembicaraan itu biasa, karena siapa dapat apa dan bagaimana caranya, dalam perebutan 10,64 persen saham divestasi raksasa kapital internasional Freeport, adalah perkara basah bagi kantung para elit. Mereka terbiasa rakus dan korup, agar cepat kaya dan tetap berkuasa. Kalau kamorang ingat, Teten Masduki mengatakan: tak ada Freeport APBN bisa kolaps. Sebesar itulah angka yang sedang mereka perebutkan.

Bagaimana kepedulian mereka terhadap tanah dan nasib kamorang semua, khususnya Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainya? Tak usah ditanya. Presiden katakan ada lima syarat bagi renegosiasi Freeport. Dari kelima syarat tersebut juga tra jelas dimana dorang tempatkan suara-suara pemilik ulayat. Syarat itupun menuntut adanya kepastian perpanjangan kontrak terlebih dahulu.

Riuh-riuh terkait MOU pra renegosiasi Kontrak Karya (KK) ketiga 2021 ini sudah mementaskan banyak drama. Intinya hanya satu: Freeport pegang kendali, karena KK sebelumnya sudah beri dorang kuasa banyak.

Padahal suara-suara kam su riuh, marah, bahkan sesaat setelah PT itu dirikan base camp dan helipad untuk mengeksploitasi areal Nemangkawi tahun 1967. Kemarahan yang jelas, karena mereka menggusur kam pu kebun di Lembah Waa trapake permisi. Perlawanan yang harus, karena dari 100.000Ha pada tahun 1967, lalu 32.000Ha antara tahun 1983-1985, lalu 1 juta Ha, lalu 2,6 juta Ha setelah penandatanganan Kontrak Karya II tahun 1991, tak satupun melalui mekanisme permisi yang benar, apalagi ganti rugi yang layak. Mereka berhasil karena punya tentara bersenjata.

Dorang semua tra pernah pikir kamorang ada. Karena itulah tuntutan 400T untuk ganti rugi lahan sejak 1967 tak mereka gubris, bikin macam telinga batu.

Jadi memang, mereka tak sedang bicarakan nasib kamorang semua. Juga tak sedang bicara situasi kerja dan nasib 30.004 pekerja di sana, dimana kam su setengah mati masuk dan sulit bisa tempati posisi-posisi penting. Mereka hanya bicara angka, yang entah bagaimana masuknya ke kantung negara atau swasta, juga tra jelas, karena tidak atas kuasa dan kontrol kami juga.

Sebetulnya kami malu dengan pembicaraan belakang layar mereka itu. Kalo saja kitorang kuat, kami ingin sekali menggebrak meja dan mendudukkan mereka pada debat perkara yang lebih berguna terkait masa depan Freeport, negeri ini, dan Papua. Perkara yang akan menampar kekuasaan mereka dan kedewasaan politik kami semua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline