Lihat ke Halaman Asli

Merawat Harapan, Mengingat Arnold Ap

Diperbarui: 21 Maret 2016   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MERAWAT harapan tak segampang menanam dan membunuhnya. Bila surga itu ada, saya yakin, para perawat harapanlah penghuninya. Perawat harapan bukan pemberi harapan palsu, karena yang terakhir ini sebetulnya hanya penipu. Yang merawat adalah mereka yang bekerja, sebodoh apapun orang-orang lain menganggapnya, dengan tekun dan antusias untuk hari depan lebih baik bagi banyak manusia. Tak jarang mereka sendiri pun, mungkin, tak punya bayangan yang pasti, bagaimana masa depan lebih baik itu. Karena yang lebih penting justru kepastian tak menyerah untuk membangun kehidupan.

Entah kenapa orang-orang seperti ini tidak banyak muncul di dalam situasi tanpa ancaman. Mereka justru hadir dalam situasi perang, konflik tak berkesudahan, pendudukan, atau penjara. Merekalah perawat harapan, orang-orang yang membuat kita berani hidup sebagai manusia, bukan ternak.

Pikiran ini membuncah setelah Lu’ay Bal’awi mengobrak-abrik perasaan saya. Ketika saya berusaha mencari awal paling tepat membuka tulisan ini. Sepertinya ia adalah salah satu murid Al-Kamandjati, sekolah, dan yang saya sebut sebagai, pergerakan musik yang didirikan oleh Ramzi Aburedwan.

Ramzi dulunya salah seorang anak Palestina pelempar batu pada Intifada pertama. Sekolah ini hendak ‘melindungi anak-anak Palestina dari tentara-tentara Israel.’ Setiap tahun Al Kamandjati menerima ratusan anak-anak Palestina yang menggunakan musik untuk menolong mereka melewati checkpoint dan serangan mendadak militer sambil merawat harapan untuk suatu negara merdeka mereka sendiri.

Kami tak mampu hanya duduk dan menunggu putusan politik yang menguntungkan yang akan mendirikan satu Negara Palestina. Kami harus bekerja proaktif membangkitkan kehidupan budaya orang Palestina.

Kami harus beraksi sekarang.

Kami mesti memberi kesempatan anak-anak berpikir melampaui tentara dan tank-tank. Mereka mesti berpikir kreatif, bukan tentang kehancuran negeri, tetapi tentang membangun kembali peradaban mereka.
 Al Kamandjati, adalah perawat harapan.

Mungkin saya sok berani dan sedikit sok tahu ketika membayangkan Al Kamandjati ala Arnold Ap berdiri hari ini. Didirikan pada 1 Desember atau 1 Mei tak jadi soal. Bernama Mambesak atau yang lain, juga tak jadi soal. Saya tahu sebagian orang Papua lebih lazim mendengar nama Israel ketimbang Palestina, dan saya ambil resiko tidak populer dengan menarik contoh Al Kamandjati ini bagi Papua. Bagi saya pertimbangannya hanya satu: apa yang dilakukan Ramzi dkk pada anak-anak Palestina di bawah pendudukan Israel telah merawat harapan, mereka dengan lantang berbicara pada dunia tentang keadilan.

Orang Papua telah lama dipaksa kondisi untuk lebih tabah dan berani berhadapan dengan kematian, ketimbang membangun harapan. Mereka, menurut John Rumbiak, mengalami ‘Jiwa yang Patah’—hilang percaya diri, frustasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita (I Ngurah Suryawan, 2013). ‘Mati hari ini, besok, kapan pun sama saja. Kenapa harus takut mati? Yang penting kita kerja baik untuk tanah dan bangsa Papua, supaya orang Papua bisa kenang…’ demikian kakak Yeem mengenang perkataan Nicalaus Yeem, yang mati karena penjara dan penyiksaan, bertahun-tahun kemudian.

Berani berhadapan dengan kematian justru menjadi kunci untuk hidup di Papua.

Ada yang hidup sekadar hidup, tetapi lebih banyak yang hidup dengan prinsip, menolak jadi budak di tanah sendiri.‘Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi ini lah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati’ demikian ungkapan Arnold yang paling sering dikutip orang-orang yang menulis tentang dirinya. Namun kerja baik untuk tanah dan bangsa adalah kerja untuk memelihara kehidupan dan membangun peradaban. Suatu kerja yang sangat sulit di tengah murahnya harga nyawa, dan kerusakan peradaban kemanusiaan yang sudah terlampau dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline