Lihat ke Halaman Asli

Bantahan: Logika Hukum Penentang Nikah Sirri!

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Kembali saya mengangkat tema Nikah Sirri. Disini kita akan kaji persoalan Nikah Sirri dari sisi logika hukum positif. Sebelum dimulai, saya jelaskan lagi, bahwa definisi Nikah Sirri itu setiap pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA, tidak mendapat surat nikah, meskipun secara Syariat Islam pernikahan seperti itu SAH belaka. Namun Nikah Sirri yang dimaksud disini, tidak termasuk kawin mut’ah, kawin kontrak, nikah tertutup yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kalau kawin mut’ah, kawin kontrak, dan sejenisnya, jelas kita mendukung jika hal itu dilarang. Kawin mut’ah sudah diharamkan oleh Nabi Saw, sampai Yaumul Qiyamah.

Mengapa kita ingin membahas masalah ini dari kacamata hukum positif? Sebab banyak pihak yang mendukung UU Nikah Sirri itu dari kalangan yang mengaku melek hukum. Di antara mereka adalah Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM. Juga Mahfud Md, sang Ketua Mahkamah Konstitusi yang krisis ilmu agama. Juga ada mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie yang pernah mengusulkan agar Gus Dur diganjar gelar “pahlawan demokrasi”. Juga ada Musdah Mulia, ya Anda semua sudah tahu siapa dia. Termasuk ada Menteri Pemberdayaan Perempuan, isteri Agum Gumelar. Juga Ana Muawanah, anggota DPR dari PKB. Dan lain-lain.

Inti pemikiran para pendukung UU Nikah Sirri yang nantinya bisa memidanakan para pelaku Nikah Sirri adalah sebagai berikut:

Nikah Sirri harus dilarang, pelakunya harus dipidanakan. Mengapa? Sebab selama ini banyak kasus kezhaliman terhadap isteri dan anak-anak hasil pernikahan Sirri. Jadi UU Nikah Sirri ini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak isteri dan anak-anak.


Perhatikan dengan cermat 3 poin berikut: (a) Selama ini ada Nikah Sirri di masyarakat; (b) Dalam sebagian kasus Nikah Sirri, terjadi pelanggaran terhadap hak-hak isteri dan anak-anak hasil pernikahan Sirri; (c) Maka solusinya, agar tidak terjadi pelanggaran, Nikah Sirri harus dilarang, pelaku Nikah Sirri dipidanakan.

Logikanya, di masyarakat banyak polisi yang berada di jalan-jalan raya. Sebagian polisi itu sering melakukan pungutan liar, atas nama tilang. Pungutan liar jelas melanggar hak-hak warga negara, malah merugikan negara, karena hasil pungutan tidak disetor ke kas negara. Maka solusinya, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak warga negara, sebaiknya polisi lalu lintas dikriminalkan saja. Begitulah! Sama persis logikanya kan.

Itulah logika hukum yang dibawa oleh Mahfud Md, Musdah Mulia, Jimly Asshidiqie, dan kawan-kawan. Rata-rata logika hukumnya seperti itu. Nanti Anda akan menyaksikan, bahwa orang-orang seperti ini AMAT SANGAT BODOH dari sisi pemahaman hukum positif. Padahal selama ini kita lebih banyak bergelut dengan Syariat Islam. Tapi alhamdulillah, kita bisa mengetahui kebodohan orang-orang itu, justru dari “kandang” mereka sendiri. Masya Allah, hanya Allah Ta’ala yang menentukan segala sesuatu terjadi, dengan ijin-Nya.

Untuk memahami betapa bodohnya logika hukum seperti di atas, mari kita runut masalahnya dari awal, yaitu sebagai berikut:

[1] Hukum asal pernikahan adalah baik. Di mata hukum negara manapun, di Amerika, Eropa, Asia, dan seterusnya, hukum asal pernikahan itu baik. Pernikahan bukanlah perbuatan kriminal, seperti mencuri, merampok, korupsi, membunuh, menipu, dll. Pernikahan itu hukum asalnya adalah baik, menurut hukum manusia di manapun. Kalaupun kemudian terjadi pelanggaran hak-hak dalam pernikahan, hal itu bukan karena pernikahannya, tetapi karena pelaku pernikahan itu sendiri yang keliru. Jika UU Nikah Sirri disetujui, sehingga setiap pelaku Nikah Sirri otomatis dipidanakan, itu sama dengan menganggap pernikahan sebagai perbuatan kriminal. Coba Anda cari dalam hukum negara manapun, adakah yang mengkriminalkan pernikahan?

[2] Jika UU Nikah Sirri disetujui, sehingga pelaku Nikah Sirri otomatis dianggap sebagai penjahat, dan anak-anak mereka dianggap “anak penjahat”. Sementara pelaku zina, pelacuran, homoseks, kumpul kebo, tidak diapa-apakan, tidak menerima sanksi apapun. Jika demikian halnya, berarti negara Indonesia ini hendak BERHUKUM DENGAN HUKUM IBLIS. Sesuatu yang baik dianggap sebagai kejahatan, dan sesuatu yang hina dianggap halal. Jika demikian, maka bangsa ini dianggap berhukum dengan HUKUM IBLIS. (Jika itu yang terjadi, saya tidak ragu-ragu untuk mengkafirkan Mahfud Md, mengkafirkan Patrialis Akbar, Jimly Asshiddiqie, dan makhluk sejenisnya).

[3] Jika ada seseorang mencuri, merampok, membunuh, korupsi, dll ditangkap, lalu dipidanakan. Ya, kita semua memakluminya, sebab perbuatan-perbuatan seperti itu pada asalnya memang perbuatan jahat. Tetapi jika orang menikah baik-baik, hanya belum dicatatkan di KUA, lalu dipidanakan, wah ini amat sangat keterlaluan. Pernikahan dimanapun adalah kebaikan, bukan kejahatan. Maka pernikahan baru bisa dibawa ke pengadilan, entah karena urusan pidana atau perdata, jika ada kasus kejahatan/kezhaliman di dalamnya. Dalam konteks urusan yang baik, seperti pernikahan, bekerja, profesi, belajar, pergaulan, bisnis, kerjasama, dll. yang masuk kategori urusan muamalah, sesuatu baru bisa dipidanakan jika terjadi fakta-fakta pelanggaran hukum di dalamnya. Kalau kenyataannya baik-baik saja, ya tidak perlu dipidanakan. Itu sangat salah!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline