Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra Zein

Professionals/Coffee Brewer/Owner Coffee Shop

Desain Strategi Pertahanan Prabowo: Salah Langkah dalam Menjamin Masa Depan Indonesia?

Diperbarui: 15 September 2024   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Seiring berjalannya masa pemerintahan Kabinet Indonesia Maju yang semakin mendekati akhir, peran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam menjaga stabilitas ekonomi dan geopolitik---khususnya di Asia-Pasifik---terus menjadi sorotan karena kapasitasnya sebagai Calon Presiden Terpilih Pemilu Tahun 2024 Periode 2024-2029. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo telah membahas isu-isu penting terkait dengan keamanan regional, terutama menyangkut ketegangan nuklir di wilayah tersebut (Defense.gov, 2024). Namun, beberapa kebijakan dan pendekatannya memerlukan tinjauan ulang agar strategi pertahanan nasional dapat disusun dengan lebih baik. Tulisan ini akan mengkritisi kebijakan Prabowo yang dinilai masih memiliki beberapa kelemahan, sekaligus memberikan masukan untuk strategi pertahanan Indonesia di masa mendatang.

Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer yang kuat, kerap kali menekankan pada penguatan kemampuan militer konvensional, seperti peningkatan jumlah dan kualitas alat utama sistem senjata/alutsista (Reuters, 2024). Meskipun peningkatan kekuatan militer sangat penting, pendekatan yang terlalu konvensional dan berfokus pada senjata besar justru dapat mengabaikan ancaman lain yang lebih kompleks. Di tengah ketegangan geopolitik, seperti konflik di Laut China Selatan dan potensi ancaman nuklir dari Korea Utara, pendekatan ini kurang efektif (ISEAS, 2024).

Ancaman nuklir adalah ancaman yang sangat serius di Asia-Pasifik. Negara-negara seperti Korea Utara telah menunjukkan kemampuan nuklir mereka dan kerap kali menggunakan retorika agresif untuk meningkatkan tensi di kawasan. Dalam konteks ini, Indonesia tidak hanya harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman militer konvensional tetapi juga mengantisipasi kemungkinan konflik nuklir yang bisa mengancam keamanan dan kedaulatan nasional. Sayangnya, pendekatan pertahanan Prabowo sejauh ini belum terlihat memiliki perencanaan komprehensif terkait pencegahan dan mitigasi ancaman nuklir.

Sebagai pemimpin yang diharapkan mampu membawa keberlanjutan sebagaimana yang dicanangkan dalam slogan kampanye Pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden 2024-2029, Prabowo-Gibran, seharusnya Prabowo dapat memberikan fokus lebih pada ancaman non-konvensional seperti ancaman nuklir dan mengembangkan strategi pertahanan yang lebih seimbang (ISEAS, 2024).

Ketergantungan pada Alutsista Impor akan meningkatkan Risiko Strategis Nasional, desain pertahanan dari Prabowo yang "Amat Konvensional" dapat ditelusuri mengenai kebijakannya saat menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, dengan pembelian alutsista "bekas". Kebijakan ini justru menunjukkan ketergantungan pada negara lain dalam penyediaan alutsista. Ketergantungan ini memiliki risiko strategis, terutama jika dikaitkan dengan situasi geopolitik yang semakin memanas di Asia-Pasifik, termasuk kemungkinan terjadinya perang nuklir.

Impor alutsista tidak hanya memiliki implikasi pada kesesuaian operasional, tetapi juga menimbulkan pertanyaan terkait kemandirian pertahanan nasional. Dengan meningkatnya risiko ketegangan nuklir di wilayah ini, Indonesia harus memiliki sistem pertahanan yang mandiri, tangguh, dan dapat merespons situasi kritis secara cepat. Dengan kata lain, pengadaan alutsista dari luar negeri tanpa adanya transfer teknologi akan membuat Indonesia rentan terhadap situasi konflik, terutama konflik dengan dimensi nuklir (Reuters, 2024).

Gaya komunikasi dan kepemimpinan Prabowo dengan kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan memang cenderung tertutup. Dalam debat terbuka calon presiden 2024-2029, Prabowo lebih menekankan pada pendekatan diplomasi yang bersifat dialogis namun tertutup. Meskipun sering kali menekankan pentingnya dialog dan diplomasi, kebijakan ini tampak lebih bersifat reaktif ketimbang proaktif (Defense.gov, 2024).

Di tengah meningkatnya ketegangan di Asia-Pasifik, termasuk potensi ancaman nuklir yang terus membayangi, Indonesia membutuhkan pendekatan diplomasi yang lebih proaktif. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki peran strategis dalam meredakan ketegangan regional, baik melalui diplomasi bilateral maupun multilateral.

Prabowo sebaiknya memperkuat diplomasi pertahanan dengan menggandeng negara-negara ASEAN untuk menciptakan mekanisme pencegahan konflik yang efektif (Reuters, 2024). Indonesia dapat berperan dalam menginisiasi forum dialog yang membahas isu-isu keamanan, termasuk ancaman nuklir, secara berkala. Hal ini penting agar negara-negara di kawasan dapat mengoordinasikan langkah-langkah pencegahan dan mitigasi konflik nuklir sebelum eskalasi lebih lanjut terjadi.

Ketegangan di Asia-Pasifik yang kian memanas menuntut Indonesia untuk memiliki strategi pertahanan yang komprehensif dan seimbang. Salah satu langkah nyata yang bisa diambil adalah pengembangan kebijakan yang mampu menjawab tantangan nuklir. Saat ini, ancaman nuklir tidak hanya terkait dengan persenjataan, tetapi juga menyangkut aspek strategis seperti siber dan ekonomi.

Prabowo perlu mendorong pembentukan lembaga khusus yang fokus pada ancaman nuklir dan keamanan siber sebagai bagian integral dari pertahanan nasional (ISEAS, 2024). Lembaga ini harus memiliki kapasitas untuk melakukan deteksi dini, mengoordinasikan respons cepat, dan menyusun strategi mitigasi apabila ketegangan nuklir meningkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline