Lihat ke Halaman Asli

Bu Risma dan Feminisme dalam Pembangunan Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Sumber: Kompas)

Tri Rismaharini, itulah nama perempuan yang cukup populer belakangan ini. Nama tersebut begitu populer setelah si empunya nama, yang merupakan WaliKota Surabaya hadir di acara Mata Najwa Metro TV hari Rabu malam (12/02/2014) kemarin. Dalam acara yang berlangsung selama 1,5 jam tersebut, Najwa Shihab secara gamblang menunjukkan kiprah walikota yang akrab dipanggil Risma ini. Mulai dari gaya kepemimpinannya, kebijakan yang diambilnya, hingga yang paling menguras emosi tentunya adalah isu tentang pengunduran diri Bu Risma dari jabatan walikota.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Sumber: Kompas.com)"][/caption]

Ibu Risma, yang merupakan walikota  perempuan surabaya yang pertama memang sosok yang begitu menarik. Kehadirannya, seakan-akan menjadi bukti bahwa sifat feminis diperlukan dalam pengelolaan atau manajemen pembangunan sebuah kota.

Wagiman, atau Walikota Gila Taman, begitulah Bu Risma dijuluki pada awal-awal masa kepemimpinannya di Surabaya. Julukan tersebut tentunya bukan sebuah julukan yang asal. Kiprah Bu Risma dalam "dunia pertamanan" di Surabaya memang patut diacungi jempol. Sebelum menjabat sebagai walikota, yaitu ketika Bu Risma merupakan kepala dinas pertamanan Kota Surabaya, beliau memang telah berupaya memperbaiki kualitas dan menambah jumlah taman di Surabaya. Diantara taman-taman tersebut, tentunya yang paling terkenal adalah Taman Bungkul, yang berhasil menyabet penghargaan Asian Townscape Sector Award pada tahun 2013 kemarin.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Taman Bungkul, Surabaya (Sumber: Kompas.com)"]

Taman Bungkul, Surabaya (Sumber: Kompas)

[/caption]

Kebijakan pertamanan yang diambil oleh Bu Risma ini tentunya menjadi semacam anomali di Indonesia. Ketika banyak walikota atau bupati lain menyingkirkan ruang terbuka dan taman demi meyediakan tempat untuk berbagai pembangunan jalan, industri, perumahan maupun sarana penggerak ekonomi kota yang lainnya, Bu Risma justru mengambil langkah sebaliknya. Bu Risma, seakan-akan ingin menunjukkan bahwa beliau tidak tega bila surabaya menjadi kaya tapi masyarakatnya tidak mempunyai tempat bersosialisasi dan berkumpul. Beliau tidak tega bila surabaya dipenuhi bangunan tinggi dan megah tapi anak-anaknya tak mempunyai tempat bermain. Beliau juga tidak tega bila surabaya, yang merupakan rumah bagi warganya, hanya menjadi hutan beton yang tidak menyehatkan. Begitulah, beliau memang tidak tega seperti seorang ibu yang tidak tega bila keluarga atau anaknya tak terpenuhi kebutuhannya.

Kebijakan lain dari Bu Risma yang cukup menarik adalah menaikkan pajak reklame di pusat Kota Surabaya. Kebijakan ini sempat menimbulkan wacana di DPRD  Kota Surabaya untuk memakzulkan atau memberhentikan Bu Risma. Akan tetapi, beruntunglah warga Surabaya ketika wacana tersebut ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri. Kebijakan ini, seperti halnya kebijakan taman yang dijelaskan sebelumnya, juga merupakan sebuah kebijakan yang melawan arus. Tidak bisa disangkal, pajak reklame merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi sebuah kota, utamanya bagi kota besar seperti surabaya. Menaikkan pajak reklame adalah sebuah kebijakan yang gila, karena tentu saja hal tersebut bisa mengurangi pemasukan bagi kota. Akan tetapi, itulah kebijakan yang diambil Bu Risma.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Kawasan Gang Dolly (Sumber: Kompas.com)"]

Kawasan Gang Dolly (Sumber: Kompas)

[/caption]

Kebijakan tersebut tentunya diambil bukan tanpa alasan. Bu Risma, sebagai walikota, tentunya tak ingin jika surabaya menjadi kota yang buruk rupa karena begitu menjamurnya reklame-reklame. Beliau juga tidak ingin bila warga kotanya akhirnya merasa tidak nyaman karena kotanya tidak enak dan indah dipandang mata. Lagipula, bukankah sudah banyak pengalaman -seperti di jogjakarta dan jakarta- yang menunjukkan bahwa menjamurnya reklame merupakan salah satu elemen utama perusak wajah kota? Pada akhirnya, kebijakan ini seolah-olah menunjukkan bahwa ibu rumah tangga yang menjabat sebagai walikota ini tidak ingin kotanya menjadi tempat yang buruk bagi tumbuh dan berkembangnya penduduk Kota Surabaya.

Penutupan lokalisasi juga menjadi kebijakan Bu Risma yang cukup menyita perhatian. Sebagaimana yang diketahui, Surabaya dengan julukannya sebagai Kota Sejuta PSK, mempunyai beberapa titik lokalisasi. Diantara beberapa lokalisasi tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah Gang Dolly. Tentunya, dibutuhkan sebuah keberanian yng besar untuk menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara tersebut. Keberanian ini ternyata dimiliki juga oleh seorang Tri Rismaharini. Keberanian ini lahir karena kekhawatirannya terhadap keberlanjutan hidup para PSK. Bu Risma tidak ingin PSK, yang semuanya adalah perempuan, menjadi budak seksual dari para lelaki hidung belang. Selain itu, beliau juga sangat khawatir terhadap masa depan dari anak-anak PSK tersebut. Bu Risma beranggapan bahwa mereka mempunyai hak untuk mendapatkan masa depan yang jauh lebih baik.

Kebijakan ini jelas sekali memperlihatkan bahwa Bu Risma, sebagai makhluk yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan, memiliki kepedulian terhadap kaum sesamanya. Beliau tidak ingin kaumnya dihina demi kesenangan sesaat. Selain itu, dalam kebijakan ini, Bu Risma juga menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ibu sejati yang tidak ingin anak-anaknya mempunyai masa depan yang suram.

Sayangnya, berbagai gebrakan Bu Risma kini terancam berhenti. Beliau berkeinginan untuk mundur dari jabatannya sebagai walikota. Keinginan tersebut muncul setelah terpilihnya Wisnu Sakti Bhuana sebagai Wakil Walikota Surabaya yang baru. Sebagai informasi saja, Wisnu Sakti Bhuana adalah inisiator pemakzulan Bu Risma di DPRD Surabaya. Bu Risma sakit hati dengan pemilihan wakil walikota tersebut karena beliau merasa tak dilibatkan dan prosesnya tidak prosedural.

Mengenai pengunduran dirinya ini, dalam acara mata najwa, Bu Risma tidak sanggup memberikan jawaban yang gamblang. Tangisan yang keluar dari matanya justru menjadi jawaban utama setiap kali pertanyaan tentang pengunduran diri dilontarkan. Tangisan tersebut seperti menggambarkan begitu besarnya tekanan yang dihadapi oleh beliau pada saat ini. Bu Risma, yang begitu gagah menghadapi demonstran dan tegas dalam menindak pelaksana proyek yang salah, ternyata bisa menangis juga. Pada akhirnya, Bu Risma tak bisa menyembunyikan sisi lemah dari sifat feminisnya sebagai seorang perempuan. Ketika tekanan yang yang diterimanya begitu besar, pikiran dan fisik Bu Risma tak sanggup melawannya dan menangis menjadi satu-satunya pilihan bagi Bu Risma.

Tangisan tersebut merupakan tangisan yang tidak diinginkan oleh warga surabaya. Hal ini terbukti dari begitu banyaknya dukungan di dunia maya yang mengalir kepada Bu Risma. Dukungan-dukungan tersebut seperti menggambarkan bahwa mereka sudah terlanjur nyaman hidup dalam Kota Surabaya, yang saat ini menjadi wujud feminisme pembangunan kota ala Bu Risma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline