Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi: Pelindung Mayoritas atau Alat Penindas Minoritas?

Diperbarui: 11 Oktober 2021   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Demokrasi, Sumber foto: Pixabay/Tama66

Sedikit pengantar, seorang Gubernur Yudea Pontius Pilatus berkata kepada Yesus, "Jadi apakah kau seorang raja orang Yahudi? Yesus menjawab, "kamu berkata begitu: Aku adalah raja. Saya dilahirkan dan saya datang ke dunia, hanya untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Siapa pun yang akan dibenarkan jika mendengarkan suaraku." 

Pilatus kembali bertanya pada Yesus, "apakah kebenaran itu?" 

Kemudian, dengan kata itu dia pun keluar lagi dan pergi ke orang-orang Yahudi, dan berkata kepada mereka: "Aku tidak menemukan alasan untuk menghukumnya. Tetapi, karena ada kebiasaan bagi Anda bahwa untuk melepaskan seseorang saat Paskah maka aku akan membuat pilihan pada Anda semua," ujar Pilatus.

"Apakah Anda ingin saya melepaskan Raja orang Yahudi ini untuk Anda? Atau seorang penjahat yang bernama Barabbas. Mereka berteriak lagi, berkata, "bukan dia, tapi Barabbas!" Barabbas adalah seorang bajingan dan Terpidana Pembunuhan Kejam. 

Muncul pertanyaan dari refleksi kisah dari New Testament di atas, sekaligus saya anggap ada sebuah kesalahpahaman yang harus diluruskan dan harusnya kita kembali melihat ke belakang mengenai apa sih demokrasi itu? 

Apakah fenomena di atas itu juga yang disebut dengan Demokrasi? 

Demokrasi itu dalam bentuknya yang paling murni atau sejatinya menangkap kegembiraan mayoritas yang menang seperti halnya ada ketakutan terhadap mereka yang minoritas yang suaranya akan menghilang atau tidak dihitung sama sekali. 

Orang Yunani Kuno tahu ini dengan baik. Demikian juga oleh para founding fathers US

Demokrasi sebagai tipe rezim tidak lain adalah wahana demagog. Karena keberfungsian demokrasi dengan sangat baik ia adalah penghasutan murni nan sederhana. Lalu pertanyaannya apakah itu masalah? Belum sampai ke pertanyaan ini, cuma untuk demokrasi saya memang lebih suka mengutip Popper. 

Baik dalam "all life is problem solving" dan "the lesson of this century" paling tidak Popper menganggap bahwa suatu rezim demokratis terjadi ialah jika memungkinkan warga negara (Popper tidak bilang rakyat, karena akan beda lain maksud dan maknanya) untuk mengontrol para pemimpinnya dan juga untuk membebaskan mereka dari tanggung jawabnya tanpa menggunakan kekerasan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline