Lihat ke Halaman Asli

Zeffo Christopher Franssois

Mahasiswa aktif Universitas Kristen Indonesia Prodi Ilmu Politik

Dampak Kabinet Prabowo-Gibran Terhadap Hubungan Pusat Hingga Daerah Serta Tantangan Kegemukan Birokrasi

Diperbarui: 4 November 2024   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelantikan Menteri Kabinet Merah Putih Masa Bakti 2024-2029, pada 21 Oktober 2024 yang digelar di Istana Negara. 

Kabinet Prabowo-Gibran yang baru dibentuk untuk masa jabatan 2024-2029 membawa perubahan signifikan dalam politik Indonesia, terutama dalam dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kehadiran Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya merupakan wali kota Solo, menjadi simbol harapan bahwa kabinet ini akan lebih memahami kebutuhan daerah. Namun, dengan bertambahnya jumlah menteri di kabinet ini, muncul pula persoalan terkait efisiensi pemerintahan, khususnya yang menyangkut koordinasi antar kementerian dan pelaksanaannya bagi daerah. Perihal ini memuat sejumlah pos baru, seperti Kementerian Digitalisasi dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pemberdayaan UMKM, yang tentu saja berpotensi memperluas jangkauan layanan pemerintah. Namun, dengan banyaknya kementerian, tantangan baru muncul yang dimana koordinasi antar kementerian menjadi semakin rumit, yang sering kali memperlambat proses pengambilan keputusan. Misalnya, Kementerian Investasi dan Kementerian Koperasi dan UMKM memiliki beberapa wewenang yang tumpang tindih dalam mengembangkan usaha di daerah. Akibatnya, pemerintah daerah harus menghadapi lebih banyak birokrasi untuk mendapatkan persetujuan dan anggaran, sehingga memperlambat program-program yang dibutuhkan masyarakat.

Masalah kegemukan birokrasi ini juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi layanan publik. Penambahan pos kementerian yang tidak sepenuhnya mendesak dapat meningkatkan komunikasi daerah, apalagi bila tidak diikuti dengan pengaturan batasan kewenangan yang jelas. Misalnya, Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal yang fokus pada wilayah terpencil sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam tugas Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dengan adanya kementerian tambahan ini, kepala daerah seringkali harus berkoordinasi dengan lebih banyak pihak, yang pada akhirnya menambah beban administratif dan memperlambat implementasi kebijakan di lapangan. Kehadiran kabinet yang besar ini, di satu sisi, memang bertujuan untuk memperkuat peran pusat dalam menangani isu-isu spesifik. Namun, terlalu banyaknya penerbitan juga berisiko menciptakan inefisiensi dan memperlambat pelayanan. Jika tidak segera dievaluasi, kondisi ini dapat memperlemah hubungan antara pusat dan daerah, terutama dalam menghadapi isu-isu mendesak di daerah yang membutuhkan solusi cepat dan tepat.

Dalam jangka panjang, kabinet Prabowo-Gibran perlu mengkaji kembali efektivitas struktur birokrasi ini. Menjaga fokus pada kementerian yang strategis dan memperjelas kewenangan masing-masing kementerian dapat membantu menciptakan pemerintahan yang lebih responsif dan ramping. Langkah ini akan memperkuat hubungan pusat-daerah, mengurangi tumpang tindih kebijakan, dan memungkinkan layanan publik lebih cepat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di seluruh daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline