Lihat ke Halaman Asli

Zeffo Christopher Franssois

Mahasiswa aktif Universitas Kristen Indonesia Prodi Ilmu Politik

Patologi Birokrasi, Pembengkakan Kementerian dan Masuknya Artis Tanpa Kompetensi

Diperbarui: 27 Oktober 2024   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Patologi birokrasi merujuk pada gejala atau masalah yang muncul dalam sistem birokrasi yang mengganggu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Patologi birokrasi sering kali terjadi akibat struktur yang kaku, budaya kerja yang buruk, atau kurangnya pengawasan yang memadai.

Dalam pemerintahan, birokrasi yang efisien dan fokus merupakan kunci utama untuk mewujudkan kebijakan yang cepat, tepat sasaran, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Presiden terpilih Prabowo mengatakan "Jumlah anggota kabinet kita 48 menteri juga ada badan strategis, ini memang lebih banyak dari pemerintah sebelumnya jumlah ini saya sadari memang dianggap tergolong besar tapi karena memang kita bangsa besar jumlah penduduk ke empat terbesar, luas wilayah sama seperti Eropa barat terdiri 27 negara Eropa. Mengelola Eropa buruh 27 Menkeu dan Mendagri," Rabu (23/10/2024). Namun, ketika komposisi kabinet mengalami pembengkakan, dengan tambahan kementerian yang tidak sedikit, muncul pertanyaan "Apakah langkah ini benar-benar dibutuhkan atau justru menjadi beban baru bagi efektivitas birokrasi di Indonesia?" dalam kaitan Patologi Birokrasi.

Prabowo Subianto yang merupakan presiden terpilih di 20 Oktober 2024, menambah jumlah publikasi menteri dan wakil menteri dengan alasan efisiensi dan menanggapi tantangan zaman. Meski dalam konteks tertentu, penambahan ini bisa memberikan solusi bagi permasalahan spesifik, pembengkakan jumlah menteri sebenarnya juga membawa risiko yang tidak bisa diremehkan. Lebih banyak kementerian berarti lebih banyak koordinasi yang harus dilakukan, potensi tumpang tindih yang sah, dan akhirnya berakhir pada birokrasi yang lamban. Dalam situasi ini, pengambilan keputusan bisa tersendat karena alur birokrasi menjadi lebih panjang. Dengan semakin banyaknya kementerian, setiap kebijakan yang harus melewati tahapan koordinasi antar kementerian pun membutuhkan lebih banyak waktu, yang tidak sesuai dengan kebutuhan respons cepat dalam dunia modern yang dinamis.

Di tengah polemik kebocoran ini, muncul pula fenomena baru yaitu penunjukan seniman dan publik figur yang tidak memiliki latar belakang akademis atau pengalaman yang memadai di sektor yang mereka pimpin. Beberapa dari mereka diangkat sebagai menteri atau menduduki jabatan penting lainnya dalam pemerintahan. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa publik figur memiliki popularitas yang mungkin bisa menarik perhatian masyarakat, terutama generasi muda. Namun kehadiran mereka dalam posisi strategi menimbulkan pertanyaan mengenai kapabilitas dan integritas birokrasi di mata masyarakat. Maka peran patologi birokrasi dalam konteks ini mengacu pada gejala-gejala negatif yang muncul akibat ke tidak fungsian dalam struktur dan proses birokrasi, seperti nepotisme, diskriminasi, dan keputusan yang tidak berbasis pada data atau analisis yang tepat. Masalah utama dari masuknya artis ke dalam keterbatasan adalah kurangnya kompetensi untuk membuat keputusan dalam birokrasi. Menjadi pemimpin dalam pemerintahan tidak hanya membutuhkan popularitas, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap isu-isu kebijakan publik, dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Kepemimpinan dalam birokrasi yang dimaksud ialah keterampilan yang membutuhkan pengalaman, pemahaman atas berbagai regulasi, serta kemampuan mengambil keputusan strategi yang berdampak luas. Tanpa dasar akademis atau pengalaman di bidang terkait, kebijakan yang dihasilkan tidak akan efektif atau bahkan bisa menyebabkan dampak negatif. Selain itu, penunjukan publik figur tanpa pengalaman atau latar belakang akademis ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Ketika melihat masyarakat jabatan publik diisi oleh orang-orang yang dipilih karena popularitas, bukan karena kapabilitas, maka wibawa atau kualitas sebagai institusi yang seharusnya profesional dan berkompeten menjadi diragukan. Padahal, kepercayaan publik merupakan salah satu fondasi utama dalam suksesnya pemerintahan yang baik.

Sebagai bagian dari bangsa ini, kita seharusnya mendorong para pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga kompeten dan berintegritas. Popularitas bisa saja menjadi nilai tambah, tetapi kompetensi adalah dasar yang tak tergantikan. Pemerintah harus mampu menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi yang tepat, bukan semata-mata karena latar belakang selebritas atau popularitas di media sosial.

Penting untuk disadari bahwa birokrasi yang gemuk dan kurang efektif akan selalu menjadi beban bagi negara. Pemerintah yang baru ini seharusnya mengutamakan efisiensi dan profesionalisme dalam penyusunan kabinet, serta memastikan bahwa setiap menteri memiliki kapabilitas yang jelas sesuai dengan bidang yang mereka pimpin. Hanya dengan begitu, birokrasi kita dapat menjalankannya dengan lebih baik, responsif, dan benar-benar melayani kepentingan publik. Dengan kondisi saat ini, masyarakat tentu berharap agar pemerintah tidak sekadar meraih simpati dengan popularitas, melainkan juga mampu bekerja dengan penuh dedikasi dan kemampuan yang memadai. Ini adalah PR besar yang harus diselesaikan demi masa depan birokrasi yang profesional, bersih, dan efisien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline