Bullying atau perundungan sedang menjadi topik yang hangat akhir-akhir ini. Tidak sedikit korban bullying terjadi pada anak sekolah, bahkan banyak yang memakan korban akibat bullying. Lantas, mengapa hal tersebut dapat terjadi pada anak-anak? Mari kita bahas dari kacamata psikologi, hal yang cenderung menjadi penyebab anak melakukan tindakan bullying.
Sebelum kita membahas bullying, kita harus memahami dahulu mengenai agresi. Apa itu agresi? Agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain. Menyakiti yang dimaksud dapat berupa menyakiti secara fisik maupun sosial. Bullying merupakan salah satu contoh perilaku agresi yang menyakiti korban secara fisik maupun sosial. Lalu apa yang mendorong anak melakukan agresi? Banyak sekali faktor yang dapat mendorong anak untuk melakukan agresi, namun kali ini saya akan membahas faktor lingkungan yang berperan cukup besar pada pembentukan perilaku anak.
Pada zaman sekarang ini, anak tidak hanya belajar dari pendidikan formal di sekolah saja, tetapi mereka juga banyak belajar dari lingkungan di luar sekolah seperti lingkungan rumah, lingkungan bermain, dan banyak lagi. Tidak hanya itu, mereka juga sering kali belajar dari konten-konten yang mereka lihat di media sosial. Permasalahan yang kerap terjadi ialah, perilaku yang mereka perhatikan, pelajari, dan terkadang tiru pada kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang tidak baik. Tidak menutup kemungkinan bahwa perilaku yang mereka pelajari adalah perilaku agresi atau tindakan yang menyakiti orang lain. Agresi tidak hanya dipicu oleh sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar anak, tetapi juga dapat dipelajari oleh pengamatan pada orang lain. Teori social learning yang dikemukakan oleh Bandura dapat menjelaskan mengenai fenomena ini. Bagi Bandura, konsep kunci dari teori social learning adalah vicarious conditioning (pengkondisian perwakilan -- anak belajar tidak hanya dengan diberi reward dan punishment atas perilaku mereka, tetapi juga dengan mengamati orang lain diberi reward dan punishment atas perilaku mereka. Dengan begitu, jika seseorang terlihat merasa senang saat melakukan tindakan agresif, atau diberi reward karena melakukannya, dan jika mereka lolos dari hukuman, para pengamat belajar bahwa melakukan tindakan agresif juga aman dan bermanfaat.
Contohnya adalah, ketika anak mengamati temannya melakukan perilaku bullying dan temanya tidak dihukum atas tindakan tersebut namun ia senang saat melakukannya, anak yang mengamati temannya akan belajar bahwa melakukan bullying yang dilakukan temannya merupakan tindakan yang baik dan menyenangkan. Apabila hal itu sering terjadi, maka anak yang pada awalnya hanya mengamati, dapat meniru tindakan bullying tersebut kepada temannya yang lain. Jadi, anak belajar melalui pengamatan yang ia lakukan. Penelitian Perry dan Rasmussen (1986) menemukan bahwa anak-anak yang lebih agresif mengatakan bahwa mereka merasa mampu untuk melakukan agresi dan hal tersebut akan memberikan mereka imbalan. Proses pembelajaran melalui pengamatan yang dilakukan anak-anak akan cenderung ditiru bila mereka menyaksikan perilaku yang mereka amati berulang kali.
Di samping itu, anak juga dapat meniru perilaku agresif melalui paparan media. Tidak dipungkiri bahwa zaman sekarang ini, kita dimudahkan dengan perkembangan teknologi dan tidak menutup kemungkinan untuk anak-anak dapat mengakses berbagai informasi melalui media sosial. Apabila pengawasan orang dewasa kurang, hal ini memungkinkan anak untuk mengamati konten-konten kekerasan dan akhirnya dapat mereka tiru pada kehidupan nyata. Hubungan antara konsumsi media dan agresi telah dijelaskan oleh beberapa teori psikologi. Kekerasan di media massa membuatnya menjadi suatu kemungkinan respons yang lebih menonjol secara kognitif (teori kognitif sosial), mungkin juga membuatnya tampak aman dan bermanfaat (teori pembelajaran sosial), dan dapat berkontribusi pada bias asosiasi permusuhan dengan membuat orang percaya bahwa kekerasan, lebih umum dilakukan daripada yang sebenarnya. Selain itu, tidak hanya media massa, namun juga video game dapat berhubungan dengan tindakan agresi anak.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, agresi bisa terjadi karena anak belajar dan meniru perilaku yang mereka amati di lingkungannya. Bullying juga demikian, apabila anak sering mengamati tindakan bullying dan ia belajar bahwa melakukan bullying tidak mendapat hukuman, maka anak mungkin dapat menirunya. Anak-anak hingga remaja banyak menghabiskan Sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya di sekolah, lingkungan sekitar, komunitas, dan melalui media sosial, dan bullying hampir selalu terjadi dalam konteks teman sebaya (Pepler et al., 2010). Di samping itu, terdapat juga penelitian bahwa bullying dan korban lebih mungkin terjadi di ruang kelas yang ditandai dengan norma-norma teman sebaya yang mendukung bullying (Salmivally & Voeten, 2004). Studi observasi menunjukkan bahwa, rata-rata, dua hingga empat teman sebaya hadir dalam sebagian besar (85% hingga 88%) insiden bullying (O'Connell, Pepler, & Craig, 1999; Pepler et al., 2010). Namun, para pengamat sering kali merespons dengan cara yang mendorong dan bukannya mencegah terjadinya bullying. Dengan kata lain, kita tidak hanya fokus pada pelaku dan korban bullying, namun juga pada anak-anak yang menjadi pengamat saat perilaku bullying terjadi.
Selain karena faktor teman sebaya, bullying juga banyak diteliti dalam konteks sekolah, dan iklim positif atau negative sekolah berdampak pada frekuensi bullying dan korban. Peningkatan kasus bullying dapat dikaitkan dengan respons guru yang tidak tepat, hubungan guru dan siswa yang buruk, kurangnya dukungan guru dan kurangnya keterlibatan dalam kegiatan sekolah. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa siswa cenderung tidak melaporkan bullying jika mereka melihat iklim sekolah yang negatif.
Oleh sebab itu, banyak cara yang dapat dibenahi untuk mengurangi bahkan meniadakan perilaku bullying pada anak-anak. Tidak hanya dari guru yang mengawasi perilaku anak saat di sekolah, namun juga para orang tua harus sadar akan pentingnya pengawasan pada apa yang anak-anak tonton, amati, dan juga lakukan.
Mari kita ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, dengan katakan tidak pada bullying!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H