Baru-baru ini media sosial diramaikan oleh sebuah potongan video gus Miftah yang mengomentari seorang penjual es teh dengan kata "gobl*k" ungkapan ini memicu perdebatan tajam, baik dari kalangan yang mendukung Gus Miftah maupun mereka yang mengkritiknya
Sebagai tokoh publik dan penceramah kondang, Gus Miftah dikenal karena gaya dakwahnya yang santai dan dekat dengan masyarakat. Namun, penggunaan kata-kata bernada keras seperti ini menjadi pertanyaan.
Apakah kata tersebut pantas disampaikan oleh seorang tokoh agama? atau justru, itu bagian dari gaya komunikasi khas yang tidak perlu dibesar-besarkan?. Kasus ini menyentuh beberapa aspek penting: akhlak, tanggung jawab tokoh publik, dan cara masyarakat merespons kesalahan seseorang
Keteladanan Akhlak: Sebagai figur publik sekaligus tokoh agama, Gus Miftah dianggap sebagai panutan, bukan hanya dalam soal ilmu agama tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Kata-kata seperti "gobl* k" yang keluar dari mulut seorang pendakwah dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang mengedepankan kelembutan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan dakwah yang santun, bahkan kepada orang yang tidak sepaham dengannya.
Namun, di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa Gus Miftah adalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf. Sebagai seorang individu, ia pun berhak atas kesempatan untuk introspeksi dan memperbaiki diri.
Menghormati Setiap Pekerjaan: Kasus ini juga menyoroti perlakuan terhadap profesi yang sering dipandang sebelah mata, seperti penjual es teh keliling. Setiap pekerjaan yang halal layak dihormati. Kata-kata merendahkan terhadap seseorang karena profesinya, baik sengaja maupun tidak, mencerminkan kurangnya penghargaan atas jerih payah mereka.
Dalam pandangan Islam, pekerjaan halal, sekecil apa pun, tetap mulia di mata Allah SWT. Peristiwa ini harus menjadi pengingat untuk semua pihak agar lebih menghormati setiap individu tanpa memandang status sosialnya.
Media Sosial dan Budaya Penghakiman: Tidak bisa dimungkiri, media sosial turut memperbesar kontroversi ini. Banyak netizen yang bereaksi emosional, baik yang mengkritik keras Gus Miftah maupun yang membelanya tanpa melihat konteks lengkap kejadian.
Di era digital, ruang untuk klarifikasi sering kali kalah oleh kecepatan penghakiman. Fenomena ini menunjukkan pentingnya menahan diri untuk tidak langsung menghujat atau menghakimi sebelum mendapatkan informasi yang akurat.
Pelajaran: Gus Miftah telah menyampaikan klarifikasi dan meminta maaf atas kejadian tersebut, yang merupakan langkah bijak untuk meredakan situasi. Permohonan maaf adalah wujud tanggung jawab sekaligus kesadaran akan pentingnya menjaga ucapan, terutama sebagai tokoh yang menjadi sorotan publik.
Masyarakat pun perlu belajar dari insiden ini. Ketika seseorang melakukan kesalahan, alangkah lebih baik jika kita memberikan kritik yang membangun, bukan sekadar menghakimi. Kita juga perlu lebih menghormati profesi orang lain, karena setiap individu yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya adalah pejuang kehidupan.