Saya sengaja menulis tulisan ini sebagai pelajaran yang bisa di ambil hikmahnya tidak hanya saya pribadi tapi juga bagi kita semua. Disini saya tidak ada maksud ataupun niat ingin menjelekkan siapapun atau menganggap diri saya benar adanya. Astagfirullah mudah2an kita dijauhkan dari sifat yang merusak jiwa itu.
Sabtu lalu saya menghadiri training yang diselenggarakan oleh kantor saya. Sabagai informasi saya bekerja di lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang memberikan bantuan beasiswa kepada anak yatim. Training ini berlansung dua hari dan diikuti oleh beberapa lembaga lainnya dengan donatur yang sama. Tidak ada keraguan sedikit pun untuk turut berperan serta dalam acara ini, karena selain saya staf baru dikantor, saya juga berniat menambah wawasan dan pertemanan di tempat training nantinya. Training ini diselenggarakan di sebuah sekolah yang berbasis Islam, sehingga suasana yang ada tidak ubahnya seperti sebuah pesantren. Melihat situasi yang seperti ini saya lansung mengirimkan pesan singkat ke adik saya di kampung dan mengatakan bahwa seolah2 saya menjadi santri kembali, seperti beberapa tahun lalu. Waktu tidak ada yang canggung, semuanya terkesan normal. Pelajar-pelajar putri yang tinggal di asrama pun- tempat yang sama kami menginap- bersikap manis.
Pas tibanya waktu makan, saya memberanikan diri untuk jalan-jalan di sekitarnya dan setelah itu lansung menuju kantin untuk makan. Disini lah awalnya saya merasa aneh, seolah-olah saya berada ditempat asing dimana orang-orang melihat saya sebagai makhluk aneh. Perasaan ini hanya terbesit begitu saja sebagai respon dari sensitivitas saya sebagai perempuan' yang hanya satu-satunya memakai kulot (celana panjang longgar berbahan kain) ditempat itu. Mereka tidak sedikitpun menampakkan aura ramah sebagai tuan rumah yang menyambut tamu. Jelas itu membuat saya miris. Seolah-olah saya hanya orang nyasar dan tidak perlu dituntun untuk mencari alamat yang benar.
Sangat sedih dan jelas saya merasa sangat tersisihkan. Hampir dua puluh lima menit saya berada di kantin dan tidak ada satu orang pun datang menyapa atau tersenyum cukup membuat saya yakin aka keputusan yang bakal saya ambil. Saya meninggalkan ruangan dengan segudang pertanyaan berkecamuk dalam pikiran saya. Apa yang salah di diri saya, pakaian??? Saya juga seorang muslimah, saya memakai jilbab dan baju sopan. Atau kah karena kulot ini, sehingga saya tidak diterima di komunitas ini. Saya lansung teringat dengan intisari sebuah hadits (kalau tidak salah), bahwa Islam itu bukan milik nya orang Arab, atau suku manapun, Islam itu rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi semesta. Apakah rahmat itu tidak berlaku di komunitas ini, atau hanya saja kita terkendala dengan macam-macam tafsiran, sungguh tidak dapat dipercaya. Sekiranya yang datang itu bukan saya, tapi orang asing atau orang barat yang secara kebetulan terdampar di tempat itu, maka apa reaksi yang mungkin terjadi??? Saya yakin orang ini tidak bakal menilai secara parsial, tapi Islam lah yang bakal di cerca. Wallahu a'lam.
Kembali ke cerita awal, saya lansung meninggalkan kantin dan tiba2-tiba seorang perempuan yang lebih tua dari saya menegur dan saya pikir dia lansung bisa mengenali saya sebagai tamu dari pakaian saya. Terus terang pertemuan saya malam itu ibarat nya rahmat bagi saya, dia lansung merangkul saya sebagai temannya, dan dia berkata "saya juga seperti kamu, saya pakai celana, kebetulan aja hari ini saya pakai gamis". Saya menangis dan dia memberikan sedikit ketenangan dengan menrangkul saya, dan itu lebih dari yang saya harapkan terjadi. Setelah saya kembali tenang, dia kembali mangajak saya makan dan mengobrol di kantin, tapi apa yang saya tidak inginkan kembali terjadi. Salah seorang guru atau pengasuh disana, hanya menyapa temanku ini dan mengajak nya makan, saya? ingin rasanya menghilang secepat mungkin dari sana.
Setelah kejadian ini, saya sempat berbicara dengan seorang kenalan disana yang kebetulan juga seorang pengasuh. Waktu itu saya berbicara dengan teman saya dengan memakai kata "I" dan "you", dan dia lansung mengkonotasikannya seolah-olah saya mengesklusifkan diri dan menjelaskan alasan kenapa saya mendapat perlakuan yang kurang bersahabat itu. Dia menilai, mungkin secara ilmu saya lebih pintar, hanya saja hidayah atau semacam nya belum di berikan ke saya, Astaghfirullah. Semudah itu orang menilai keimanan seseorang hanya karena bungkus luar yang berbeda. Apakah Islam hanya sebatas yang tampak mata saja.
Apakah Islam hanya untuk mereka yang bungkus nya bagus- dalam pandangan mereka. Begitu mudahnya kita menghakimi oran glain salah, terus bagaimana dengan kita??? Na'udhubillah. Mudah2an kita diampuni dengan kesalah pahaman ini. Saya tidak mengklaim pakaian saya benar, hanya saja pendekatan mereka itu jauh dari gambaran bagaimana Rasulullah memuliakan tamu nya, baik dia Muslim atau bukan. Sedih rasanya melihat bagaimana Islam di pahami secara sempit dan bukan dari ruhnya.
Mudah2an tulisan saya ini bisa membuka mata dan hati kita, bahwa Islam itu sangat lah luas dan tidak hanya mencakupi masalah penutup aurat. Ada hal-hal lain yang lebih sederhana namun luput dari pemikiran dan perhatian kita, Adap, sopan santun, bagaimana kita hidup bertetangga, menjaga kebersihan, amanat menjaga anak, menjaga lingkungan (hablum minan nas) dan tentu saja hubungan kita dengan sang Khaliq (hablum minallah). Mari lah sama-sama kita instropeksi diri dan kembali mengkaji Islam secara benar dan akurat dan bisa di implementasikan, tidak hanya sebatas teori. Mohon maaf bila tidak berkenan. Kepada Allah semata saya mohon diberika banyak ampunan. Assalamualaikum Wr Wb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H