Lihat ke Halaman Asli

Zee. L

Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Pagi Yang Menanti Embun Kembali

Diperbarui: 1 Desember 2015   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hari itu, kau pergi tanpa berpamitan. Sama sekali. Kau melangkah dengan mulut bungkam. Dan sejak kepergianmu, aku tak pernah lagi melihat rangkaian embun yang seperti kelambu basah setiap kali aku membuka jendela kamar ketika datang pagi. Semua tampak gelap dan berkabut. Pepohonan saja ikut terbatuk saat pertama kali kabut menggantikan posisi embun menemani pagi.

Aku mendengar rumpunan pohon talas berbisik riuh. Mengenai kabar kepergian embun pagi itu. Aku bertanya pada mereka, apa sebab yang membuat embun enggan menemani pagi hari ini. Lalu mereka menjawab; “Kami tak tau. Kami hanya mendengar embun berkata ‘Aku hanya ingin menyelamatkan diriku dari rasa pengkhianatan’ begitu katanya.” Kemudian mereka kembali berbisik dengan kabar yang lain lagi.

Jika embun pergi karna ingin menyelamatkan dirinya dari rasa pengkhianatan, lalu tindakannya mengirim rindu yang sepi dan berkabut untuk pagi juga bentuk pengkhianatan yang nyata.

Aku jadi ingat, pertengkaran kita sebelum kau pergi.

“Dari pada memihak manusia, aku lebih baik memihak kebenaran.” Katamu tanpa mau memandangku lagi.

Kau tau? Aku adalah kebenaran itu. aku adalah kebenaran milikmu sendiri. Sama seperti embun, adalah kebenaran yang harus dimiliki pagi.

Sekarang, aku bersama pagi. Merawat rindu berbedung sepi, di bawah kabut. Menunggumu. Pastikan bahwa kau kembali bersama embun, untuk pagi mengasuh rindu bersama-sama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline