Lihat ke Halaman Asli

Zee. L

Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Perempuan Yang Memeluk Hujan

Diperbarui: 21 April 2020   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ketika warna kuning kemerah-merahan mulai berpamitan pulang. Malam itu, adalah sabtu malam yang lembab. Selembab kelopak mataku saat ku tahu kau tak lagi datang.  Ada bau air mata, tak jauh dari tempatku menyulam waktu. Ku  putuskan untuk menemukannya.

 Aku melihatnya duduk seperti mengapung. Di atas bentangan permadani yang di rajut dari benang-benang penantian di tengah danau yang terbuat dari air mata. Ia menatapku. Sangat tajam, seperti garis kilat yang menyayat.  Dan ia bergerak semakin mendekat.

“Siapa kau?” Tanyaku. Ia tersenyum sinis. Dari senyumannya, aku ingat. Aku sering melihatnya di cermin. Ia yang memeluk rindu. Kemudian memelukku bersama rindu.

“Aku adalah dirimu.” Bisiknya, yang telah menyatu menjadi aku. Lalu rindu dalam pelukanku berubah menjadi butiran air yang di sebut hujan. Kemudian aku terduduk di atas permadani yang terapung pada danau air mata. Sambil memeluk hujan, di bawah guyuran rindu. Menantimu.

 

Sudut kota yang berkabut, 16 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline