Dulu, saya adalah seseorang yang terpengaruh oleh filsafat eksistensialisme. Bisa dibilang, saya hidup dalam bayang-bayang konsep kebebasan yang digadang-gadang oleh para filsuf eksistensialis. Pemikiran bahwa "eksistensi mendahului esensi" begitu kuat mengakar di benak saya. Bagi saya waktu itu, hidup ini adalah tentang menjadi diri sendiri seutuhnya, tanpa perlu patuh pada aturan-aturan yang seolah-olah memaksakan standar kehidupan yang seragam untuk semua orang.
Eksistensialisme ini bukan hanya sekadar gaya berpikir buat saya, tapi sudah jadi semacam pegangan hidup. Rasanya ada kebanggaan tersendiri bisa melihat dunia lewat kacamata filsafat yang menekankan kebebasan individu. Waktu itu, saya percaya bahwa manusia nggak ditentukan oleh hal-hal dari luar--kita yang membentuk diri kita sendiri. Kehidupan ini milik kita, dan cuma kita yang berhak mengatur arah mana yang mau kita tuju. Begitu melekatnya keyakinan ini, sampai-sampai saya melihat setiap aturan baku atau keseragaman sebagai sesuatu yang mengekang dan membatasi diri.
Pemikiran ini bikin saya merasa bebas. Bebas dari keharusan mengikuti jalur yang sama dengan orang lain, bebas untuk membuat keputusan besar dan kecil tanpa harus bertanya, "Apa ini sesuai norma atau standar umum?" Singkatnya, eksistensialisme benar-benar menjadi semacam fondasi kuat dalam cara pandang saya terhadap hidup dan pilihan-pilihan yang saya ambil setiap harinya.
Ketidaksukaan pada Aturan dan Keseragaman: Merayakan Free Will
Saya nggak pernah suka diatur. Bagi saya, hidup ini harusnya dijalani sesuai dengan apa yang kita yakini, bukan berdasarkan aturan yang dibuat oleh orang lain. Saya juga nggak terlalu nyaman dengan konsep keseragaman, seolah-olah setiap orang harus mengikuti jalur yang sama dan berpikir dengan pola yang serupa. Buat saya, justru keunikan dan perbedaan itulah yang bikin hidup lebih berwarna dan bermakna.
Yang saya benar-benar puja adalah free will--kebebasan untuk memilih dan menentukan hidup sesuai kata hati sendiri. Tapi bukan berarti saya nggak punya batasan, ya. Kebebasan yang saya junjung ini nggak sampai membuat saya berbuat seenaknya, apalagi sampai melanggar norma sosial atau aturan yang melindungi hak dan kemanusiaan orang lain. Bagi saya, manusia punya hak penuh untuk mengarahkan hidupnya sendiri, tapi dengan syarat: harus bertanggung jawab.
Jadi, saya selalu percaya bahwa kebebasan itu punya tanggung jawabnya sendiri. Kita bebas memilih, bebas menentukan jalan, selama kita siap untuk menanggung konsekuensi dari pilihan tersebut. Kebebasan yang saya yakini bukan kebebasan yang sembrono atau merugikan orang lain, tapi lebih kepada kebebasan untuk menjalani hidup dengan cara yang saya anggap benar, selama tetap menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan tatanan sosial di sekitar saya.
Hak untuk Menentukan Hidup Sendiri: Prinsip Kebebasan dan Tanggung Jawab
Bagi saya, setiap manusia berhak menentukan arah hidupnya sendiri. Sejak awal saya selalu percaya bahwa kita adalah kapten di kapal hidup kita masing-masing. Kebebasan itu, bagi saya, adalah hak dasar yang nggak bisa diganggu gugat. Tapi, tentu saja, kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab.
Saya punya prinsip bahwa kebebasan yang benar adalah kebebasan yang tidak mencederai kemanusiaan. Artinya, kebebasan itu harus tetap menghormati batasan-batasan yang ada, asalkan batasan tersebut memang bertujuan baik untuk menjaga hak dan kenyamanan bersama. Bebas bukan berarti tanpa arah dan aturan, tapi bebas dalam artian menjalani hidup sesuai keyakinan pribadi, dengan catatan tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan sosial.
Menurut saya, manusia memang harus bebas, tapi kebebasan itu harus selalu disertai dengan kesadaran untuk bertanggung jawab. Inilah yang membuat kebebasan terasa lebih bermakna: ketika kita bisa menjalani hidup sesuai keinginan dan pilihan kita sendiri, tapi tetap sadar bahwa ada dampak dari setiap keputusan yang kita ambil.