Berita viral anak kyai Jombang yang menjadi tersangka kasus pencabulan, menuai banyak respon. Dalam kasus ini, tidak sedikit media memberitakan dengan narasi "anak kyai pesantren Jombang."Seperti yang kita ketahui bahwa Jombang adalah tempat lahirnya Nahdlatul Ulama, bahkan tokoh-tokohnya pun lahir di Jombang. Publik mengenal bahwa Jombang adalah kota santri juga tentunya kota dengan mayoritas masyarakat yang mengikuti NU dan taat dengan ulama NU.
Dari kasus ini, tidak sedikit pula para pembenci NU dan yang anti pesantren, tertawa jumawa. Mereka berpikir kasus ini bisa membuat publik memandang rendah NU, karena NU identik dengan pesantren dan kyai sebagai pimpinan tertinggi di dalamnya.
Tapi tunggu dulu. Tidak semua pesantren berafiliasi dengan NU. Maka jangan terburu-buru mengkaitkan kasus anak kyai yang berbuat cabul dengan jam'iyah kebanggaan kami, NU.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa pesantren Majma'al Bahrain, Ploso, Jombang, tidak berafiliasi dan tidak terdaftar di RMI NU (Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama.) Hal ini sudah menjadi bukti kuat bahwa pesantren ini tidak ada kaitannya dengan NU.
Lalu bagaimana dengan tariqoh yang mereka ajarkan? Seperti yang kita ketahui pesantren yang diasuh oleh romo Muchtar Mu'thi ini juga mengajarkan toriqoh, yaitu toriqoh Shiddiqiyah. Shiddiqiyyah juga tidak termasuk dan tidak berafiliasi dengan Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah atau organisasi keagamaan milik NU, yang para anggotanya berfokus pada penerapan ajaran-ajaran toriqoh.
Jadi, jangan gegabah mengaitkan kasus ini dengan NU dan tokoh-tokoh NU. Ber-NU itu enak, yang salah tetap dikatakan salah. Yang benar tetap dikatakan benar. Dari kasus ini tokoh-tokoh NU justru mendukung pihak kepolisian untuk bertindak tegas kepada pelaku dan menuntut pelaku untuk mengikuti proses hukum yang berlaku. Bukan malah menghalang-halangi proses penegakan hukum dengan melibatkan simpatisan dan santri. Miris sekali.
NU selalu mengajarkan pengikutnya untuk taat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Salah ya tetap salah. Tak pandang bulu. Semua sama di mata hukum. Tak peduli anak kyai, anak mentri, ataupun anak petani.
Dari DM dan komentar yang masuk di instagram saya, banyak sekali yang takut untuk memondokkan anak bahkan cucunya, dengan melihat kejadian di pesantren Ploso ini. Mereka berpikir pesantren tidak aman untuk anak perempuannya. Bahkan tidak sedikit influencer, konten kreator, dan penulis, mengajak netizen untuk stop memasukkan anak ke pesantren dan stop percaya pada ulama-ulama pesantren. Yang lebih konyol lagi, mereka mengajak para orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya di sekolah negeri, yang tidak berbasis pesantren. Miris.
Gini loh bro, di pesantren aja anak-anakmu berpotensi untuk jadi korban kejahatan. Padahal yang kita tau pesantren memiliki peraturan yang banyak dan tentunya dengan pengawasan ketat. Lha lalu apa kabar jika anak-anakmu tidak dimasukin ke pesantren? Tentunya bisa double potensi kejahatan yang akan diterima sang anak. Bukan hanya pencabulan dan pemerkosaan. Tapi anakmu juga bisa jadi korban kejahatan-kejahatan yang lainnya. Sialnya lagi, bahkan bisa menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, karena kurangnya ilmu pengetahuan dan minimnya akhlak yang dimiliki oleh sang anak.
Urusan pilihan mondokin anak atau tidak, itu urusan masing-masing. Tapi ingat, ketika anak-anak anda terlanjur nakal di luar sana, dan anda merasa sudah tidak bisa mendidiknya, jangan pernah berpikiran untuk membuang anak-anak nakal anda ke Pesantren. Pesantren bukan tempat rehabilitasi anak nakal. Tugas kyai dan para ustadz bukan hanya ngurus anak anda yang nakal itu. Jangan jadikan pesantren sebagai pilihan terakhir untuk anak anda. Pesantren bukan tempat sampah!
Kadang saya jengkel dengan orang tua yang ketika akhir tahun ajaran, mereka berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri. Giliran gak keterima di sekolah negeri, dan sudah waktunya pembelajaran di mulai, mereka sibuk menanyakan pendaftaran di pondok masih di buka atau nggak. Sedangkan penerimaan santri sudah ditutup. Piye jal? Kenapa gak dari awal mendaftarkan anaknya di pesantren dan kenapa menjadikan pesantren sebagai pilihan terakhir untuk anak?