Lihat ke Halaman Asli

Membangun Kualitas Bangsa Melalui Budaya Literasi

Diperbarui: 27 Januari 2023   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

“AKU RELA DIPENJARA ASALKAN BERSAMA BUKU KARENA DENGAN BUKU AKU BEBAS,”

–MOHAMMAD HATTA.

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi tuntutan zaman yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan berjalannya waktu, dunia memasuki zaman milenial saat masyarakat terjebak dalam lingkar masyarakat multimedia (cyber society). Akibatnya daya pengaruhnya cukup kuat terhadap perubahan perilaku sosial yang mendasar dalam kehidupan kita.

Tren sosial rupanya lebih mudah diterima daripada nasihat orang tua yang terlanjur dianggap klasik di kalangan remaja. Tren sosial yang ditandai dengan era kecanggihan teknologi memang menjadi bumerang jika tidak bijak dalam menyikapinya. Di era serba digital saat ini, yang menjadi daya tarik bagi kita bukan lagi kegiatan literasi (baca tulis), namun gawai dan televisi. Hal ini menunjukkan fenomena tersingkirnya budaya literasi dari diskusi publik. Sudahkah pemerintah memaksimalkan peranannya untuk bangsa Indonesia di masa depan?

Hasil survei tahun 2016 yang dilakukan US Agency For International Development (USAID) cukup mencengangkan. Rata-rata orang Indonesia menonton tayangan televisi selama 300 menit per hari (5 jam per hari), bandingkan dengan rata-rata negara maju, yang penduduknya hanya butuh waktu 60 menit (1 jam per hari). Di sisi lain, anak-anak yang dulu gemar membaca, kini lebih asyik merunduk khusyuk bermain game dan aktif di dunia media sosial (medsos) melalui gawainya.

Selain itu hasil survei yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku dalam setahun (Republika, 29 April 2016).

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuan. Kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat, sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh dari informasi lisan maupun tulisan. Namun, ironisnya jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun. (Sumber: Majalah Oase Edisi April 2014).

Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan ‘melek aksara’ atau keberaksaraan. Namun, sekarang ini literasi memiliki arti luas sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, yaitu literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi informasi. Jadi keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan.

Salah satu yang perlu diperhatikan secara khusus di zaman sekarang yaitu literasi media khususnya media sosial atau medsos. Apa itu medsos? Medsos merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antar manusia di zaman modern ini. Munculnya medsos memang berwajah ganda. Satu sisi media ini bisa meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih erat, bisnis, dan beragam layanan jasa daring lainnya. Namun, pada wajahnya yang lain medsos juga sering menjadi pemicu munculnya berbagai persoalan. Maraknya berita bohong, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, dan adu domba telah mengancam persatuan dan ideologi bangsa.

Sungguh ironi, ketika era digital dengan segala tawaran potensialnya digadang-gandang dapat mempermudah akses informasi dan bacaan malah berbalik arah menjadi darurat minat baca. Padahal minat baca adalah kunci utama dalam keberaksaraan. Seperti pendapat Ratnasari (2011:16) yang mengatakan bahwa minat adalah suatu perhatian yang kuat terhadap kegiatan membaca sehingga dapat mengarahkan seseorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Namun, pada kenyataannya minat baca saat ini telah pudar. Tergusur oleh tren gawai budaya instan yang berakibat fatal dapat menurunkan minat baca dalam berliterasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline