Lihat ke Halaman Asli

Zidna Nurul Izzatika

Mahasiswa Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

Krisis Ekonomi dan Pangan di Masa Pandemi

Diperbarui: 28 Mei 2020   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pandemi virus COVID-19 yang telah menyerang seluruh dunia pada awal tahun 2020 ini merupakan bencana terbesar bagi seluruh dunia, pandemi yang bisa melumpuhkan seluruh lini bisnis dan kegiatan yang ada di muka bumi. Tanpa terkecuali adalah kegiatan yang paling penting dalam keidupan yaitu, agribisnis.

Kondisi perekonomian negara yang tidak stabil dalam masa pandemi karena beberapa bisnis dan kegiatan yang dengan "terpaksa" harus dilaksanakan #dirumahaja mengakibatkan beberapa pekerja dengan upah minimum harus "minggir" dari mata pencahariannya entah karena di PHK, sepi pelanggan yang berdampak modal tidak kembali.

Pekerja yang sangat berdampak dengan adanya pandemi ini tidak lain pekerja buruh, pedagang kecil, dan tentunya pekerja di sektor pertanian. Dampak yang dirasakan sektor pertanian adalah tidak terpenuhi input produksi di beberapa sub-sektor karena keterbasan mobilitas petani dalam mendapatkan bahan input dan tidak berjalannya rantai-pasok pangan. 

Matinya rantai-pasok pangan yang terjadi mengakibatkan petani di bebeapa dengan sukarela membagikan hasil panennya, padahal perlu diketahui sebelumnya bahwa sektor pertanian indonesia memiliki ciri khas untuk saling distribusi antar daerah demi mencapai ketahanan pangan. Karena setiap daerah memiliki potensi komoditasnya masing masing yang tidak dimiliki oleh daerah lain tetapi daerah lain masih sangat membutuhkan bahan pangan hasil produksi komoditas tersebut tersebut.

Matinya rantai-pasok pangan berarti akan meruntuhkan ketahanan pangan di indonesia yang selama ini telah diupayakan terpenuhi, selain itu matinya rantai-pasok pangan lambat laun akan mematikan perekonomian para petani yang tidak berhasil memasarkan hasil produksinya karena pembatasan sosial berskala besar di beberapa daerah.

Selain mobilitas antar daerah terbatas, beberapa produk bahan pangan impor juga terputus, padahal bukan suatu rahasia publik bahwa Indonesia mengimpor beberapa bahan pangan dari negara lain, seperti contohnya adalah daging sapi, kedelai, gula, bahkan beras. Hal ini tentunya akan menyebabkan kelangkaan pada beberapa komoditas yang diperkirakan akan habis di bulan Mei 2020, diantara lain adalah daging sapi dan bawang putih.

Menurut data Kementerian Pertanian Dan Kementerian Perdagangan pada akhir mei 2020 stok daging sapi dan bawang putih akan negatif. Serta beberapa komoditas hingga akhir Mei 2020 memiliki jumlah yang terbatas yakni, Cabai Besar sebanyak 33.000 Ton, Cabai Rawit 69.000 Ton, Daging Ayam Ras 219.000 Ton dan Gula pasir sebanyak 279.000 Ton.

Ketika angka kelangkaan sudah "terlabelkan" pada suatu komoditas di suatu wilayah tertentu maka harganya akan meningkat, padahal bukan rahasia umum lagi saat masa pandemi ini kondisi perekonomian beberapa penduduk sedang "babak belur", tak dapat di pungkiri rakyat ekonomi mikro akan semakin terpuruk dan akhirnya akan semakin meningkatnya angka kematian terdampak pandemi COVID-19.

Jika hal tersebut semakin lama berlarut pastinya akan terjadi krisis ekonomi dan krisis pangan tentunya serta hal yang paling ditakutkan adalah kematian massal.

Dalam menangani pandemi COVID-19 pemerintah memang harus memikirkan dan menilik sisi kesehatan tanpa melalaikan sektor pangan, karena "masalah pangan adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa". Semoga cepat pulih bumi ku, agar kami (pendudukmu) bisa beraktifitas seperti biasa kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline