Istilah "pembangunan" sering kali kita dengar dan memiliki beragam makna. Dahulu, pembangunan cenderung dikaitkan dengan kemajuan ekonomi saja, seperti peningkatan pendapatan dan pertumbuhan industri. Namun, seiring berjalannya waktu, pemahaman kita tentang pembangunan semakin luas. Saat ini, pembangunan tidak hanya mencakup aspek material, tetapi juga aspek non-material seperti pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial.
Di Indonesia, konsep pembangunan yang umum digunakan adalah 'pembangunan manusia Indonesia seutuhnya'. Hal ini berarti pembangunan tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan. Pembangunan ini meliputi berbagai sektor, termasuk ekonomi, politik, dan sosial budaya. Tujuan pembangunan nasional yang sejati adalah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, berbagai kendala dan tantangan membuat pencapaian tujuan tersebut menjadi sulit. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan agar hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembangunan nasional merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakat. Konsep ini tidak hanya melibatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemerataan kesejahteraan, dan penguatan kedaulatan negara. Pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, beradab, serta negara yang kuat dan mandiri. Proses ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta membutuhkan partisipasi aktif dari semua komponen bangsa.
Ketimpangan gender menjadi isu global yang serius, Norma sosial dan tradisi patriarki yang sudah lama ada telah menciptakan kesenjangan besar antara laki-laki dan perempuan, terutama di daerah pedesaan. Pandangan tradisional yang menganggap laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama telah membatasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini mengakibatkan diskriminasi sistematis terhadap perempuan, seperti akses terbatas ke pendidikan dan pekerjaan, serta pengambilan keputusan dalam keluarga.
Akibatnya, perempuan dan anak perempuan sering kali menjadi kelompok paling rentan terhadap kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini, perubahan sikap dan struktur sosial yang mendalam membutuhkan waktu lebih lama dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan
Maka dari itu dampak serius dari ketimpangan gender menyebabkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyadari pentingnya mengatasi masalah ini secara global. Oleh karena itu, dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), PBB menetapkan Kesetaraan Gender sebagai salah satu tujuan utama.
UNESCO telah menekankan bahwa kesetaraan gender merupakan dasar dari pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada manusia. Tujuan ke-5 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) secara jelas menyatakan perlunya mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan serta anak perempuan. Oleh karena itu, mencapai kesetaraan gender bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga alat untuk mencapai tujuan pembangunan lainnya. Untuk mencapainya, diperlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Kemajuan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5, terutama dalam pendidikan, sangat bervariasi di seluruh dunia. Meskipun ada peningkatan signifikan dalam penyamaan akses pendidikan dasar antara anak laki-laki dan perempuan, banyak negara berkembang, terutama di daerah pedesaan, masih menghadapi tantangan besar. Anak perempuan sering kali terhalang untuk melanjutkan pendidikan mereka karena biaya pendidikan yang tinggi, norma sosial yang membatasi peran perempuan, dan praktik pernikahan dini. Faktor-faktor ini menyebabkan angka putus sekolah anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Berbeda dengan negara maju yang telah berhasil mengimplementasikan SDG 5 dalam bidang pendidikan, negara berkembang masih menghadapi berbagai kendala.. Pemerintah di negara berkembang perlu mengambil peran yang lebih aktif dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam pendidikan. Melalui kebijakan yang inklusif dan alokasi anggaran yang memadai, pemerintah dapat memberikan dukungan yang diperlukan bagi anak perempuan untuk mengakses dan menyelesaikan pendidikan. Selain itu, kerjasama dengan masyarakat dan sektor swasta juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran perempuan.
Selain itu ketidaksetaraan gender dalam industri pariwisata merupakan masalah serius yang bersifat global. Perempuan di sektor ini sering kali menduduki posisi yang kurang menguntungkan, dengan gaji rendah dan pekerjaan yang tidak tetap. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Afrika Selatan, merasa kurang aman dalam pekerjaan mereka di sektor pariwisata. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti stereotip gender, diskriminasi, keterbatasan akses ke pelatihan, dan beban ganda sebagai pekerja dan pengasuh. Akibatnya, perempuan di industri pariwisata sering menghadapi ketimpangan pendapatan, ketidakstabilan pekerjaan, dan terbatasnya peluang untuk berkembang. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, guna menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan di sektor pariwisata.
Kemudian pada partisipasi politik perempuan, sangat krusial untuk pembangunan berkelanjutan, namun perempuan masih menghadapi berbagai hambatan struktural yang menghambat keterlibatan mereka dalam politik. Norma-norma sosial yang patriarkis, diskriminasi, dan kurangnya dukungan institusional telah membatasi ruang gerak perempuan dalam dunia politik. Akibatnya, representasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik masih sangat rendah. Studi menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sikap masyarakat yang masih tradisional dan kurangnya kesempatan untuk mengembangkan jaringan politik menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk bersaing dalam pemilihan umum.