Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk Pala serta Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang katakan tidak." - Tome Pires, pakar obat-obatan Portugis dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental.
Rempah di Indonesia memiliki nilai sejarah, budaya, dan ekonomi yang tinggi. Sejak abad 16, pulau-pulau penghasil rempah sering mejadi alasan pertikaian antara berbagai negara di Eropa untuk berebut menguasai tanah penghasil komoditas rempah. Rempah banyak dicari untuk kepentingan kesehatan, penguat cita rasa, pengawet makanan, dan tentu saja perdagangan. Indonesia yang terletak di wilayah tropis menjadi lahan yang ideal untuk budidaya rempah seperti pala, cengkeh, lada dan yang lainnya. Bentang alam seperti inilah yang tidak dimiliki oleh bangsa Eropa karena mereka berada jauh dari garis khatulistiwa dan memiliki 4 musim yang tidak cocok untuk budidaya tanaman rempah.
Jika dipetakan, setiap bagian Indonesia memiliki rempah khas daerah masing-masing. Sehingga melalui kebutuhan kuliner ini, gerbang pertemuan antara pedagang nusantara dari berbagai daerah terbuka. Titik-titik pusat perdagangan rempah di Indonesia sebagian besar berada pada daerah dengan pesisir yang luas, seperti 1) Banda Neira, 2) Ternate, 3) Makassar, 4) Banjarmasin, 5) Bintan, 6) Medan, 7) Lhouksemawe, 8) Padang, 9) Banten, 10) Jakarta, 11) Semarang, 12) Benoa, dan 13) Surabaya. Pusat-pusat perdagangan merupakan salah satu kekuatan kerajaan nusantara dalam menguasai wilayah maritim.
Pulau Sumatera adalah pulau dengan perdagangan lada terbesar. Wilayah dagang dibagi menjadi tiga bagian yakni pesisir bagian utara pantai barat yang terdiri dari Barus, Singkil, dan Meulaboh, kemudian wilayah pesisir bagian selatan barat yang terdiri dari Indrapura, Bengkulu, dan Lampung, dan Kawasan bagian tengah dan selatan timur yang terdiri atas Jambi, Aceh, Pedir, dan Palembang. Ada banyak jenis lada di sepanjang Pulau Sumatera. Salah satunya, Lada Jambi contohnya. Lada ini merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat menunjukan tingginya status sosial sang pemilik.
Tidak hanya ladanya, Sumatera Barat memiliki tradisi makan bajamba yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Minangkabau. Bajamba sendiri memiliki arti makan bersama dalam satu wadah. Tradisi ini digelar untuk menjalin hubungan kekeluargaan yang biasanya diadakan saat upacara pengangkatan penghulu (Ninik mamak), upacara perkawinan, dan hari besar agama. Tradisi makan bersama ini juga ditemukan di daerah lain dengan nama berbeda seperti ngeliwet pada masyarakat Sunda, babarit di Kuningan, bancakan di Jawa, megibung di Bali, bagawa di Belitung, baseprah di Kutai, binarundak di Sulawesi Utara, dan Patita di Maluku.
Berangkat ke lokus selanjutnya di Pulau Jawa, tepatnya Banten, merupakan salah satu gerbang ekspedisi bangsa barat sebelum bergerak menuju kepulauan rempah di Maluku. Sebagai pusat perdagangan, terjadi pertukaran budaya dan penyebaran agama Islam di Banten yang masih dapat ditelusuri jejaknya. Sebut saja Masjid Agung Banten, salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini dibangun oleh tiga arsitektur dengan latar belakang berbeda dan membuat bangunan masjid memiliki sentuhan dari berbagai budaya.
Raden Sepat, Arsitek Majapahit yang juga merancang Masjid Agung Demak, kemudian Cek Ban Su yang berasal dari dataran Cina, dan terakhir adalah Hendrik Lucaz Cardeel, arsitek Belanda yang kabur dari Batavia. Masjid ini menjadi pusat penyebaran agama Islam yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, anak pertama dari Sunan Gunung Jati sekaligus sultan pertama dari Kesultanan Banten. Pada komplek masjid, terdapat pendopo yang difungsikan untuk tempat bermusyawarah yang ada dalam budaya Jawa. Kemudian arsitektur khas Cina pada bangunan masjid terdapat pada bentuk atap bersusun 5 di bangunan utama yang melambangkan rukun Islam. Adanya mercusuar di sisi timur masjid sendiri adalah bentuk khas arsitektur di Belanda (Laksmi 2017).
Selanjutnya, menilik hasil penyatuan kebudayaan di Banjarmasin, Pulau Borneo. Sebuah catatan Kronik China Buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebutkan mengenai kunjungan pedagang Cina pada masa pemerintahan Raja Banjar ke-3, Sultan Hidayatullah 1 untuk perdagangan. Para pedagang ini disambut dengan baik oleh orang-orang Banjar karena membawa barang yang disukai penduduk seperti sutra, kamper, perkakas tembaga, dan porselen yang kemudian masih menggunakan sistem barter atau ditukar dengan lada,emas, dan sarang burung. Ada banyak bentuk arsitektur hasil penggabungan rumah adat dengan struktur bangunan khas Cina yang memiliki atap bersusun (Widiastuti 2012).
Pulau Ternate, salah satu pulau kecil di Kepulauan Maluku, adalah magnet yang menarik pedagang dari berbagai belahan dunia untuk datang berniaga rempah. Pulau yang dijuluki Pulau Rempah karena hasil buminya yang kaya ini masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Kata Ternate dalam etimologi berasal dari tiga suku kata yaitu tara no ate yang memiliki arti turun ke bawah dan pikat dia. Makna dari tiga kata ini adalah turun dari dataran tinggi untuk mengikat pendatang agar menetap di wilayah ini.