Lihat ke Halaman Asli

Sepucuk Surat Terlipat Empat

Diperbarui: 18 Januari 2017   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melempar tas merahku. Juga tas hijau toska yang kugendong di punggung. Tas merah itu, kemarin di pinjam Reta, adik sepupuku yang duduk di bangku kelas 8 SMP untuk camping plus dipakainya ke sekolah selama beberapa hari. Tas merah itu muatannya memang besar. Sehingga amat nyaman dipakai camping yang mengharuskan membawa banyak barang. Tapi tetap saja, itu tas sekolah. Aku memasukkan buku pelajaran esok ke dalam tas merah itu. Tas ini hijau toska ini harus segera di cuci.

Segera aku bergegas mandi dan kuletakkan dalam mesin cuci bajuku yang lembab karena cuaca hari ini sekitar 34ºC. Panas sekali. Hari-hari biasa saja sudah cukup membuatku merasa gerah, apalagi hari ini. Tak lama kemudian, aku bersantai sejenak karena lelah hari ini adalah hari yang padat.

Sekolah dari jam 7 hingga jam 3 sore di lanjutkan setengah rapat organisasi. Tidak cukup sampai disitu, dua jamnya kuhabiskan mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpul besok. Sampai di rumah hampir jam 6 pas, namun matahari nampak masih belum rela melepas singgasananya untuk digantikan oleh rembulan. Astaga! Jam setengah 7 nanti aku harus les matematika dan pr kimiaku belum selesai. Bahkan aku merutuki diriku sendiri karena secara tiba-tiba, teman-teman di grup chat kelasku ribut mengeluh karena salah satu mengingatkan besok kuis fisika. Setelah les biasanya Mamah akan bertanya, “Nggak belajar, ca?”.

Inilah rutinitasku. Bulan ini sekolah sedang rajin-rajinnya memberi tugas dan ujian. Bahkan terkadang, sekelas kompak mengaku dan mengatakan pada salah satu guru yang biasanya pelupa bahwa tidak ada pr atau kuis untuk hari itu (padahal ada) karena semua mata pelajaran memberi tugas bahkan ulangan dalam satu hari yang sama. Semua bukan sengaja ditumpuk, melainkan memang beginilah adanya. Sedang padatnya tugas sekolah.

Aku mengerjakan pr kimiaku yang sebenarnya hanya dua nomor tapi cabangnya banyak. Sebenarnya kelelahan. Tapi bersyukur karena saat jam kosong tadi aku memilih tidur siang. Akhirnya guru les privatku datang dan aku segera menyesuaikan diri lagi. Hari itu sungguh padat.

***

Siang ini suhunya hanya satu derajat lebih rendah daripada kemarin. Chairul, ketua kelasku, mengomel panjang tentang harusnya sekolah menambah jumlah kipas angin di kelas menjadi empat. Atau ganti saja semuanya jadi pakai AC.

“Tapi SPP-nya jadi naik” Mei berkata singkat. Satu kelas tertawa lebih dikarenakan melihat ekspresi keberatan Chairul.

“Aca, ini buku catatan sejarahmu yang kupinjam kemarin” Chairul mengeluarkan dari tasnya, buku catatanku, dan kemudian menunjukkan buku tulis dengan sampul cokelat muda bergambar tiga rusa yang masing-masing bertanduk dua.

“Masukkan dalam tasku!” Aku menyuruhnya. Aku sedang duduk di bangku salah satu temanku, makan bekal bersama dan jaraknya delapan kursi dari sini. Sedangkan ia hanya berjarak enam kursi dari mejaku ̶ tidak beda jauh, hanya saja aku yang malas. Tapi Chairul mengikuti kataku. Dan segera memasukkan buku itu dalam tasku.

“Tumben pinjam buku. Biasanya catatanmu itu paling lengkap!” Dengan mulut penuh makanan, Joy memaksakan bicara. Aku menegurnya lewat raut muka. Ia hanya tertawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline