Lihat ke Halaman Asli

Panembahan Senopati

Pegiat Literasi

Belajar dari Joker

Diperbarui: 8 Oktober 2019   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meskipun belum menonton filmnya, membaca banyak spoiler film JOKER membuatku mulai tertarik dengan film tersebut. Film yang rilis pada bulan oktober 2019 ini menceritakan tentang kisah seorang orang dari kalangan bawah yang selalu diolok-olok dan dianiaya oleh orang sekitarnya. Hingga akhirnya di suatu titik ia berubah menjadi orang yang kejam. 

Bahkan menjadi sosok musuh bebuyutan seorang super hero. Batman. Setidaknya dahaga para penggemar tentang asal-usul joker menjadi terpuaskan dengan melihat film yang disutradarai oleh Todd Philips itu. Apakah film tentang asal-usul JOKER itu merupakan otokritik terhadap kondisi masyarakat sekarang. Kita tidak tahu pasti. Yang pasti cukup banyak yang mengapresiasi film tersebut. 

Salah satu kata yang terkenal yang menggambarkan film tersebut adalah "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti", sebuah kata yang seolah-olah menurut saya membenarkan tentang tindak kejahatan. 

Mark Manson dalam bukunya"The subtle art of giving fuck" disana dipaparkan bahwa orang jahat cenderung merasa benar terhadap tindak kejahatannya. ia seolah-olah merasa berhak untuk berbuat kejahatan atas apa yang menimpanya. Jadi pelaku kejahatan merasa benar dan berhak terhadap aksi kejahatan mereka.

Lahirnya orang jahat adalah karena orang baik yang tersakiti adalah tidak mesti benar. Banyak juga karena iri, dengki, karena nafsu yang terlalu besar yang tidak bisa dikendalikan oleh dirinya. Bisa juga karena pengaruh lingkungan dan tontonan yang tidak mendidik. 

Kembali ke ulasan film JOKER, bahwa menurut kurangnya kebutuhan dihargai atau dianggap penting berpotensi menjadikan seseorang menjadi depresi bahkan bisa berbuat kejahatan. 

Dalam  buku "bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang lain" karya Dale Carnegie disana dijelaskan setidaknya ada delapan hal yang diinginkan manusia, antara lain kesehatan, makanan, tidur, uang dan barang, kehidupan di alam baka, kepuasan seksual, kesejahteraan anak-anak kita dan kebanggaan sebagai orang penting. Point terakhir ini yang jarang kita pahami bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk dihargai. 

Kebutuhan itu merupakan rasa lapar yang tak terperikan dan tak tergoyahkan. Hasrat menjadi penting adalah salah satu pembeda antara manusia dan binatang. Hasrat ini juga menjadikan seorang Thomas Alfa Edison yang dianggap bodoh dikelasnya waktu kecil menjelma menjadi seorang ilmuwan berpengaruh di dunia ini. Anda pasti tahu siapa yang membangkitkan hasrat dalam diri Thomas, ya ibunya. 

Di saat semua teman dan gurunya menganggapnya bodoh, sebaliknya ibu Thomas selalu menyemangati dan memotivasi anaknya. Betapa penting rasa dihargai sebagai orang penting bagi setiap orang. Begitu besarnya pengaruh penghargaan terhadap rasa penting ini bahkan dikatakan peradaban tidak akan terjadi bila nenek moyang kita tidak mempunyai hasrat terhadap perolehan rasa penting itu.

Maka sudah sewajarnyalah kita selalu menghargai orang lain. Entah siapapun dan kapanpun. Jangan pernah meremehkan atau mencaci seseorang bila kita sendiri tidakbisa memuji atau menghargai. 

Kepedulian kita terhadap orang lain terkadang malah memunculkan kekuatan dalam dirinya utnuk bangkit dan tidak menyerah terhadap masalah yang dihadapi. Karena menghargai orang lain adalah cara kita menghargai diri kita sendiri. Semoga tidak ada JOKER diantara kita..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline