Lihat ke Halaman Asli

Anakku, Meong, dan Idulfitri

Diperbarui: 4 Juni 2019   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Zayn Al Muttaqien

Ini tentang anakku, Ahza Gahara Adhidrawa (yang saat itu berumur 3,5 tahun), dan juga 'meong'; kucing kesayangannya --yang kelak, beberapa jenak kemudian menjadi musuh bebuyutannya-.

Sedangkan aku; sang empunya meong, yang dalam kacamata Ahza, terutama di akhir Ramadhan --yang konon katanya kembali kepada kesucian dan kembali kepada firahnya sebagai manusia Islam (muslim) -, ternyata 'memiliki rupa' yang sama alias tidak berbeda dengan binatang.

Hmh, Ahza memang 'kejam'. Padahal setidaknya ia bisa menambahkan kata 'masih' sebelum  kalimat 'memiliki rupa' ia ungkapkan.

Arkian, suatu ketika mamah Ahza ingin menghentikan kebiasaan 'ngedot' anak bungsunya itu.  Sebab, dikhawatirkan bisa menimbulkan obesitas bagi Ahza. Setelah berbagai upaya dilakukan tidak membuahkan hasil, mamah Ahza terpaksa berbohong, "Sudah jangan ngedot aja. Dotnya juga nggak ada, dimakan meong!"

Setengah tidak mengerti, raut wajah Ahza menampakkan kemarahan.   Malam itu Ahza melewati malam dengan kegundahan yang luar biasa.

Esoknya, ketika terbangun, Ahza melihat kucing berjalan melewati pintu kamarnya. Perlahan ia bangun, menghampiri kucing dan bertanya dengan nada datar, "Meong, mana dot Dede? Kamu makan, ya?" tanyanya serius. Si kucing hanya celingukan.

Mendengar itu, kami; aku dan mamah Ahza tak kuasa menahan tawa karena melihat anak bungsu itu berbicara kepada binatang, layaknya kepada manusia. Melihat kami menertawainya, rupanya Ahza tersinggung. Ia pun menangis disertai marah. Sebagai pelampiasannya, Ahza kemudian menendang-nendang kucing kesayangannya yang kemudian lari ketakutan.

Ternyata, dalam pandangan si kecil Ahza, manusia dan binatang tidak ada bedanya. Apakah binatang yang mencondongkan diri kepada manusia, ataukah manusia yang mencondongkan diri kepada binatang? Entahlah!

Hanya saja, di penghujung Ramadhan ini, di awal-awal kita menyambut bulan kesucian, sejenak marilah kita berjalan di pelataran atau di belakang rumah kita.

Tengoklah, ada pisang yang memiliki fitrah mengeluarkan jantung terlebih dahulu. Dari dalam jantung itulah ke luar buah pisang yang hijau dan segar. Ya, pisang telah bekerja sesuai dengan 'fitrah' atau maqadarnya. Pisang tetap suci sampai akhir hayatnya; pisang tidak pernah berbuah semangka. Sebab, kalau ada pisang yang ke luar dari fitrahnya, kita akan bertanya. Itu pisang atau bukan? Kehadirannya sangat diragukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline