Lihat ke Halaman Asli

Badai

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bongkahan-bongkahan awan memanggil-manggil, “Hai, Matahari, lawan aku jika kau hendak ke bumi!”

Lalu, Mataharipun berusaha keras melawan awan-awan sombong itu. Tapi apalah daya, hanya keputus-asaan semakin menyelimutinya, ketika awan memanggil teman-temannya yang lain.

“Ah, sepertinya aku tidak bisa menerobos pagar betis awan, ketika mereka semakin tebal. Aku harus berpikir untuk mengikisnya, dengan bara api ku, biar dia leleh dan tumpah memenuhi bumi.”
***

Mendung menjadi, kelamnya selimuti seluruh bumi. Ayampun enggan keluar dari persembunyian hangat nya, dan sebentar-sebentar dari mereka memperingatkan yang lainnya, untuk tidak gegabah keluar dari sarangnya. Sedangkan burung-burung hilir mudik memanggil-manggil kawanannya. “Ayo-ayo pulang! Langit sebentar lagi runtuh!”
***

Angin gelisah, membabi-buta, menyerakan segala yang ada. Mencari hangat, yang semakin membingungkannya. Ada yang ke arah barat, dan sebagian ke utara, bahkan ada yang mencoba ke atas, kemudian menukik ke bawah. Angin panik. “Dimana kehangatan kau rasakan?” Salah satu rombongan angin bertanya kepada yang lainnya, dan yang lainnya pun menjawab, “Sepertinya di segala penjuru mataku hangat, tapi sebentar kemudian hilang juga.”

Akhirnya kedua rombongan itu berhenti sejenak, berdiskusi sembari keatas dan beberapa perbedaan pendapat membuat mereka berpindah tempat duduk, dan akhirnya memutar-mutar tak tentu, lalu berebut kebenaran arah. Tak ayal pohon-pohon, rumah-rumah, dan apapun di dekat mereka menjadi korban diskusi mereka yang tak kunjung selesai.

“Hei, mengapa tidak ke arah laut saja, mungkin air lebih lama menyisakan sedikit hangatnya!” Kemudian akhirnya diskusi itu sepakat ke arah laut. Masih saja dengan kebimbangan, mereka terbang rendah, yang akhirnya menyeret kapal dan perahu yang mereka lewati.
***

“Kekasihku, mengapa kau begitu mudah melupakan perasaan yang sudah kita jalin begitu lama. Mengapa kau begitu saja, meninggalkanku dengan alasan-alasan yang tak masuk akal bagiku? Bukankah aku sudah tanamkan rasa cintaku seutuhnya padamu?”

Banyak pertanyaan tentangmu dan tentangku sendiri, berkecamuk di dada yang mulai sesak ini. Tak seharusnya kumencitai jika akhirnya kau bersama orang lain, dengan alasan aku tak pernah ada perhatian untukmu. Percuma aku kumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yang ku tujukan untuk kita berdua kelak, jika malah akhirnya kau meninggalkanku. Sia-sia saja usaha kerasku, membabi-buta mencari harta, yang buatku lupa bahwa aku punya kau, kekasihku. Sepertinya sudah tidak ada kesempatan lagi, setelah cintamu sudah kau berikan padanya, seseorang yang selalu berusaha denganmu.

Aku tinggalkan rumah indahku, aku menuju pantai tempat biasa kita memimpikan keindahan masa depan, tempat kita membenamkan mimpi lautan, tempat kita berkata-kata pada gemuruh ombak.

Ombak kali ini berbeda, mereka tak mengatakan apapun. Tidak seperti ketika kita disini bersama, menyatukan hati, bersama gemuruh kata-katanya. Ombak kali ini gelisah, mencoba melawan angin yang tak jelas datangnya, seperti alasan-alasan yang kau berikan padaku. Angin menari-nari lagu kematian, tanpa irama, berteriak-teriak, menggaduh, dan sesekali menjerit mencekam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline