Menahan terik matahari siang, membakar kepala orang lalu lalang, ada seberkas sinar kelelahan, meracuni umat yang terkapar lesu. Dimanakah gerangan angin surgawi, nan bertiup membelai wajah kusut masai, pohon perlindungan tiada bersua, hanya tiang-tiang perkasa nan menopang cakrawala.
Terik membakar sukma, jiwa melayang kebawah rindangan kayu nan tak bertemu, bila jiwa kembali melangkah surut, pada belantara nan tertiup angin lembut. Gemulai... langkah kaki gemulai... tepatnya terseok dan terjerambab.
perlahan mata terpejam, raga menggigil menanggung dahaga, terik.... seakan otakpun encer meleleh, peluh bersimbah tiada tara, menahan rasa hukuman jiwa, bahkan jemari menggarukpun tak kuasa.
Dilema... fatamorgana menggambarkan telaga, nun disana sebatang pohon nan rindang bernama sahabi.... rindang hingga teduhpun mengajak berbaring dan bermimpi, namun sayang seribu kali sayang, pohon rindang tiada berbuah... hanya lukisan kemegahan alam, memayungi terik cuaca siang ini... AKU TERSENYUM SAJA
yah... hanya senyum nan bisa kulukis saat ini, menahan getir dan peliknya kehidupan, hutang menumpuk, ekonomi paceklik, ingin korupsi seperti mereka.... tapi apa daya, aku hanya pecundang, nan terkapar dibawah terik sengatan mentari...
tolong.... aku ingin kembali kedesa, kekampungku nan penuh kegotongroyongan, hidup dibawah kayu-kayu besar nan rindang, jauh dari sengatan mentari siang, apalagi debu-debu perusak paru. aku ingin pulang... pulang ke pangkuan alam... pulang ketanah kelahiran, tersenyum dalam hutan nan sejuk tanpa hiruk pikuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H