Lihat ke Halaman Asli

Budaya Ngurisan (Pemotongan Rambut Bayi) di Desa Darek Kecamatan Praya Barat Daya Kab. Lombok Tengah

Diperbarui: 29 April 2016   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Budaya merupakan suatu pola hidup yang berkembang dalam masyarakat dan diwariskan dari  ke generasi. Oleh karena itu budaya memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan dalam masyarakat itu sendiri, hal ini dipertegas oleh Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski yang menyatakan bahwa semua yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri. sehingga pengertian kebudayaan mencakup sebuah kompleksitas yang memuat pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, juga pernyataan intelektual yang artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Dalam kehidupan manusia di pulau Lombok, dikenal berbagai macam upacara yang bersifat ritual adat, dimana salah satunya adalah budaya ngurisan, yang telah diwariskan oelh leluhur secara turun temurun dan hingga kini masih tetap lestari dan terus dipertahankan. Budaya Ngurisan, yakni prosesi acara pemotongan rambut bayi untuk pertama kalinya. Biasanya dilakukan saat hari besar Islam seperti Lebaran, Maulid, Isra’ Mikraj ataupun acara yang sengaja dibuat khusus untuk ngurisan tersebut. Dan ini ,merupakan tradisi yang sudah lama serta mengakar sangat kuat dikalangan suku sasak yang menghuni Pulau Seribu Masjid ini.

Ngurisan merupakan salah satu budaya yang masih berkembang dan tetap di lestarikan oleh masyarakat suku sasak, terlebih lagi Desa Darek Kabupaten Lombok Tengah, dimana budaya ngurisan ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur orang tua karena telah di karuniakan seorang bayi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan budaya ngurisan ini pun sudah di lakukan dari nenek moyang terdahulu dan telah menjadi adat istiadat yang di dilakukan dari generasi ke generasi. Dalam acara ngurisan ini terdapat serangkaian proses yang harus dijalankan.

Acara ngurisan ini biasanya di lakukan secara sederhana, dimana acara ngurisan ini dilakukan pada hari-hari besar islam, seperti Maulid nabi, Isra’ Mikraj, lebaran dll. Ketika orang tua dari bayi tersebut sudah menetapkan bahwa pada hari Maulid Nabi akan mengadakan acara ngurisan, maka biasanya orang tua si bayi akan melakukan persiapan untuk acara malam dan paginya, pada malamnya orang-orang sudah berkumpul di masjid atau musholla untuk serakalan yaitu membacakan sholawat nabi, nah orang tua yang mengadakan acara ngurisan ini mempersiapkan mangkuk yang telah diisi air, gunting dan bunga sandat atau bunga kertas, yang akan di taruh di dalam airnya.

Biasnya bunga yang di gunakan itu adalah bunga yang di sukai oleh banyak orang, dan makna dari bunga tersebut yaitu agar bayi tersebut tetap terlihat manis dan disukai banyak orang seperti bunga itu yang di sukai oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-harinya. Setelah selesai serakalan maka selanjutnya bayi di bawa ke masjid atau musholla untuk di potong rambutnya oleh kiyai yang mempimpin acara serakalan tersebut, istilah pemotongan rambut ini yaitu (tebeu bulu panas) dimana pemotongan rambut pertama kali yang berada di ubun, makna dari pemotongan rambut ini yaitu agar bayi tersebut tidak mudah terkena penyakit karena telah di hilangkan (bulu panas).

Setelah di potong rambut pertamanya oleh kiyai itu maka selanjutnyan bayi tersebut mengelilingi warga sekitar yang ikut serakalan untuk ikut memotong rambut bayi tersebut, namun ada pula yang hanya mengusap rambut bayi tersebut sambil mendo’akan bayi agar menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Setelah prosesi pemotongan rambut bayi pada malam hari, selanjutnya pada pagi harinya dilakukan acara memasak makanan yang akan menjadi makanan roah (zikiran), roah ini biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki baik itu keluarga dekat atau tetangga sekitar, makna roah ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dimana hal ini terlihat pada pembacaan tahlil, tasbih, tahmid dan berdo’a pada Tuhan agar bayi tersebut menjadi manusia yang sholeh. Jadi acara roah ini mengandung nilai religi yaitu ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah dikarunia anak.

Setelah acara roah, maka selanjutnya sisa makanan (tun dulang) dari orang-orang yang roah itu di makan secara bersama oleh keluarga ataupun tetangga sekitar yang ikut dalam kegiatan itu, biasanya memakan makanan (tun dulang) ini disebut begibung, nah dalam acara begibung ini terkandung nilai social, dimana keluarga dan tetangga sekitar membeaur menjadi satu menikmati makanan dan hal itu merupakan rizki yang di berikan oleh Tuhan.

Setelah acara roah biasanya di lanjutkan pada acara selanjutnya yaitu memandikan bayi tersebut yang dilakukan oleh belian dengan tujuan agar bayi tersebut ketika dewasa menjalani kehidupan dengan lancar, tidak menemui hambatan, dan selalu disegani oleh banyak orang. Biasanya ketika bayi itu dimandikan, maka dalam bak mandi yang di gunakan untuk memandikan bayi tersebut di taruh daun agah, bunga kertas, uang logam.

Nah dalam proses inilah yang menarik, karena kebiasaan masyarakat Desa Darek Lombok Tengah itu selalu mengadakan acara “rugut kepeng” atau saling berebut mengambil uang yang telah di taruh di bak mandi bayi tersebut, biasanya anak-anak dan orang-tua pun ikut serta dalam acara rugut kepeng ini, mereka berkumpul atau mengerumuni bayi tersebut, setelah bayi tersebut selesai dimandikan maka anak-anak tadi saling berebut uang logam yang sebelumnya telah di taruh di bak mandi bayi tersebut, tentu hal ini memiliki makna saling member rizki dan hal itu pun membuat anak-anak gembira karena mendapat uang, biasanya anak yang tidak mendapat uang akan diberikan oleh orang tua bayi tersebut supaya semua mendapat rizki dan semua senang, dengan cara itu lah orang tua si bayi berbagi kesenangan dan berbagi rezeki.

Kemudian warga sekitar juga percaya bahwa air bekas mandi anak tersebut akan memberikan manfaat pada matanya, biasanya ketika proses pemandian bayi tersebut selalu disediakan keramat yaitu benda yang berbentuk gelang, dan terdapat uang bolong atau kepeng bolong dan keramat ini tidak dimiliki oleh semua orang melainkan dimiliki oleh belian atau yang mempunyai ahli spiritual saja, Benda ini dipercaya mampu menyehatkan pengelihatan, dan sudah menjadi warisan dari nenek moyang terdahulu.

Keramat hanya digunakan ketika bayi baru pertama kali dicukur gundul. Setelah dicukur biasanya bayi akan dimandikan. Keramah kemudian dimasukkan ke dalam bak mandi si bayi sebelum bayi dimandikan. Setelah bayi selesai dimandikan, Keramat ini kemudian diangkat dari bak mandi. Saat itu banyak masyarakat di kampung saya membubuhkan air dari tetesan Keramah tersebut ke matanya. Mereka percaya bahwa tetesan air Keramah ini mampu menyehatkan pengelihatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline