Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Dokter Seutuhnya

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Awal April 2010 lalu, saya dan ratusan mahasiswa FK Unand lainnya telah resmi menyandang gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked). Di waktu yang sama kami pun menerima panggilan baru yaitu Dokter Muda (DM). Dan mulailah kami menjejakkan kaki untuk pertama kalinya berkarya di ranah klinik.

Yup, Dokter Muda! Walaupun ada juga yang menyebutnya KoAss. Namun ada pihak-pihak berselera humor tinggi yang memplesetkan KoAss sebagai singkatan dari “kumpulan manusia-manusia yang serba salah, dan harus mengalah”. Mungkin istilah “KoAss” di atas sedikit berlebihan alias lebay, menggelitik, konyol, lucu, dan gila bagi orang yang belum mengalaminya. Tetapi kurang lebih ya begitulah kenyataan yang ada. (Saya yakin teman-teman yang pernah menjadi Dokter Muda setuju dengan pernyataan di atas. He..Peace ^^v). Oleh karena itu, saya rasa menggunakan istilah Dokter Muda akan lebih bijak, betul?! :)

***

Memasuki dunia klinik bisa dibilang memasuki pintu gerbang keprofesian. Begitulah yang saya rasakan, karena di sana kita berinteraksi langsung dengan para medis dan masyarakat. Dan inilah dunia riil dimana kelak kita, para calon dokter, akan terjun. Bila di kampus (pre-linik) interaksi dengan masyarakat umum yang berada di posisi sebagai pasien cukup minim, namun di klinik ini justru kita akan sangat sering berinterkasi dengan masyarakat, baik dengan sesama rekan-rekan tenaga medis, pasien, maupun keluarga pasien. Dan di sinilah titik awal keprofesian seorang dokter dimulai.

Sebagai satu batu loncatan menuju profesi dokter, maka di dunia per-doktermuda-an inilah nanti kita akan diuji dan bagaimana mengimplementasikan ilmu yang didapat saat kuliah dulu. Diantara sederet tugas yang wajib kita kerjakan siang, malam, dini hari dalam keadaan lelah, mengantuk dan lapar, diantara kegiatan belajar, mempersiapkan ujian, dan mengerjakan tugas-tugas teori, kita memiliki kewajiban untuk mempelajari dan menguasai keterampilan klinis sesuai standar kompetensi dokter umum.

Profesi dokter sangat berbeda jauh dengan profesi yang lain. Kita berurusan langsung dengan kehidupan manusia, sehingga apa yang kita perbuat akan berpengaruh terhadap kesehatan pasien kita, bahkan nyawa pasien tersebut. Lalu, baimana dengan dokter yang hanya memiliki ilmu pas-pasan, atau justru bahkan sangat minim? Bisakah kita pertanggungjawabkan tindakan kita bila kita hanya memiliki ilmu yang sedikit? Bisa-bisa karena “ketidaktahuan” kita nyawa seseorang bisa melayang.

Jadi sebenarnya profesi dokter ini sangat berat tanggung jawabnya. Bila kita semua benar-benar memahami beratnya amanah yang dipikul ini, tentu kita semua termasuk orang-orang yang rajin dan akan selalu memperdalam ilmu kedokteran dengan serius, terutama di masa-masa saat masih berstatus sebagai dokter muda.

Sayangnya, kesadaran ini tidak semua yang memilikinya. Saya sendiri bukan yang termasuk rajin belajar waktu di preklinik (malu juga mengakuinya) dan baru terasa akibatnya waktu menghadapi pasien secara langsung. Jangankan tahu apa yang akan dilakukan, hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan pasien mengenai penyakit yang dideritanya saja kadang suka kelimpungan. Dan ternyata... Saya tidak sendirian, rupanya cukup banyak teman-teman lain seperti saya.

Salut untuk teman-teman yang sudah menyadari tanggung jawabnya, yang tidak perhitungan mengenai pasien, yang menganggap semua pasien adalah pasiennya, yang rajin belajar dan berlatih skills.

Beberapa waktu yang lalu dunia maya diramaikan dengan perbincangan tentang sosok dokter muda akibat sebuah tulisan yang berjudul “Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali*”.

Nah, sekarang giliran moral calon dokter yang dibahas. Ketika terjun ke rumah sakit untuk pertama kalinya, kita diharapkan mengerti bahwa dokter masih merupakan profesi yang “istimewa” di mata masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan dokter diperhatikan melebihi apa yg dilakukan profesi lain. Begitu juga dengan tindakan para calon dokter. Sehingga tak heran, ketika seorang dokter atau calon dokter melakukan kesalahan maka akan menimbulkan kehebohan yang luar biasa, tak tanggung-tanggung, akan banyak media yang memberitakannya. Kondisi ini menuntut seorang calon dokter mesti memiliki kehati-hatian super tinggi dan tentunya akhlak yang baik. Sehingga keseluruhan sikap dan prilaku kita mencerminkan calon dokter yang baik. Selama di bangku kuliah kita sudah dibekali bagaimana harusnya bersikap sebagai dokter yang memberi teladan dan memperlakukan pasien dengan sangat baik. Tidak hanya memberi terapi medis kepada pasien, tapi juga hendaknya memberi dukungan moril dan spirituil yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kebutuhan pasien. Tebarkanlah kebaikan kapan saja dan dimana saja kaki kita berpijak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline