Lihat ke Halaman Asli

Planet Vulkan, Energi Gelap, dan Tuhan

Diperbarui: 17 Agustus 2016   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fakta bahwa orang-orang pintar kemudian mencoba mendeskripsikan kebenaran ke dalam bahasa matematika adalah sebuah perkembangan baru yang menggembirakan bagi sejarah kemanusiaan. Karena sebelumnya orang-orang hanya bisa berspekulasi tentang nilai dan harga: ada banyak telur di keranjang; dia punya banyak harta; banyak orang lalu-lalang di jalan; atau semisalnya. Bahasa kualitatif. Sementara orang-orang lebih menginginkan bahasa yang lebih jelas dengan spektrum nilai yang lebih sempit. 100 buah rambutan tentu lebih besar di bandingkan 99 buah  rambutan, kendatipun nilainya di mata kita sama-sama banyak.

Bahasa matematika sejauh ini adalah bahasa yang paling konsisten yang bisa ditemukan oleh manusia untuk mendeskripsikan kebenaran. Walaupun memang bahasa matematika tidak bisa lepas dari konsistensi aksioma yang menyusunnya. Semua kebenaran dalam matematika berangkat dari pernyataan-pernyataan sederhana semisal, bagaimana hasil yang diperoleh jika sebuah bilangan dibagi dengan nol?

Pembagian dengan nol merupakan hal yang berada di luar nalar manusia, mengapa? Begini. Kita semua sudah tahu bahwa nol ini identik dengan ketiadaan atau kekosongan. Sementara kenyataannya di matematika tidak seperti itu. Jika satu ditambahkan dengan nol, semua orang pasti setuju bahwa jawabannya pasti tetap satu (misal: satu kipas angin ditambahkan dengan nol kipas angin, jumlah kipas angin tidak akan bertambah). Namun bagaimana dengan perkalian dengan nol atau pembagian dengan nol? Satu kali satu sama dengan satu. Berapa pun bilangan yang dikalikan dengan satu pasti akan kembali ke bilangan itu sendiri, dan satu di sini dikatakan sebagai identitas. Fungsinya sama dengan nol pada operasi penjumlahan.

Seorang  ilmuan asal India bernama Aryabatha yang pertama kali menggagaskan tentang operasi aritmatika dengan bilangan nol. Itupun secara  keliru. Dikatakannya bahwa jika bilangan dibagi dengan nol maka hasilnya akan tetap bilangan itu sendiri. Padahal ilmuan modern kemudian menyadari bahwa ini akan menimbulkan inkonsistensi. Sebab pembagian merupakan lawan dari perkalian. A bagi B sama dengan C, maka A itu sama dengan B dikali C. 6  bagi 2 sama dengan 3. Maka 6 itu sama dengan 3 kali 2.

Lantas kemudian 2 bagi nol sama dengan Y, maka pertanyaan selanjutnya adalah berapakah Y sehingga jika dikalikan dengan nol akan menghasilkan 2? Padahal kita tahu sendiri---berdasarkan defenisi yang sudah lebih dahulu ditemukan tentang perkalian---bahwa semua bilangan jika dikalikan dengan nol hasilnya nol. Jadi agar konsisten maka sebuah bilangan jika dibagi dengan nol hasilnya menjadi tidak jelas  alias ora tentu alias tidak terdefenisi. Singkatnya tidak satupun bilangan yang jika dikalikan dengan nol akan menghasilkan dua, sebab semua bilangan jika dikalikan dengan nol hasilnya adalah nol.

Sebuah PR bagi pembaca, kenapa nol dipangkatkan dengan nol hasilnya sama dengan satu (seperti yang tertera dikalkulator Anda)!

Next,

Soal apakah alam semesta ini benar-benar diciptakan Tuhan maka itu sama saja dengan mencari rumus matematika tentang ketuhanan. Bukan sebuah spekulasi kualitatif. Jika berbicara buah dan emas di pasar saja kita harus menggunakan bahasa matematika yang kuantitatif, maka bagaimana halnya dengan si Pencipta buah dan emas itu sendiri?

Kalo tak bisa tentang Tuhan, minimal tentang alams semesta. Sebab Tuhan bukan objek yang terobservasi. Kita bisa mengetahui kehadiran sebuah rambutan (entah dengan melihat atau merabanya) tapi bukan jin, malaikat, atau Tuhan.

Pada banyak kasus orang selalu menggunakan Tuhan sebagai alasan kebodohan mereka. Jika mereka kurang tahu dengan sesuatu meraka selalu melemparkan  permasalahannya dengan menyebut Tuhan. Istilah kerennya God fill's the gap. Orang Norse ketika melihat petir mereka tidak tahu apa penyebabnya, mereka katakanlah itu ulah Dewa Thor, padahal fisikawan kemudian menjelaskan bahwa petir terjadi karena adanya perbedaan muatan antara “langit dan bumi”.

Orang arab ketika melihat ada air turun dari langit di tengah gurun yang kering, mereka katakan lah bahwa ada Malaikat yang menurunkan hujan, padahal fisikawan kemudian menjelaskan bahwa hujan ada karena kondensasi uap air yang merupakan bagian dari siklus air. Tak perlu solat minta hujan, cukup dengan menebarkan senyawa penumbuh hujan agar terjadi hujan. Iwan Fals ketika terjadi peristiwa letusan gunung Galunggung, dia kemudian menyalahkan Tuhan, padahal nyatanya letusan genung adalah bagian dari gejala tektonik. Demikian pula sunami, dan bencana-bencana lainnya, manusia-manusia kemudian membawa Tuhan, padahal sama sekali tidak ada hikmah yang bisa diambil jika Tuhan diikutsertakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline