Selama ini, kita sering hidup di dalam kekacauan berpikir mengenai perbedaan. Apa-apa yang tidak sesuai dengan pikiran kita, selalu diasumsikan sebagai hal yang salah. Apalagi saat ini, dengan adanya sosial media sebagai fasilitas untuk mendistribusikan perbedaan, semakin membuat pikiran kita kacau tentang sesuatu yang plural.
Padahal, apa yang kita ketahui tentang sesuatu, itu eksistensinya juga tidak lepas dari entitas yang lain. Hal itu juga serupa dengan pandangan de Saussure tentang oposisi biner-nya yang mengatakan, "untuk sesuatu bisa diketahui, maka harus juga mengetahui sesuatu lain yang berbeda karakteristiknya dengan sesuatu itu". Oleh karenanya, perbedaan bukanlah sesuatu yang muskil dalam kehidupan, melainkan suatu keniscayaan bagi eksistensinya.
Mengenai hal tersebut, juga tak jauh berbeda dengan stigmatisasi orang-orang terhadap filsafat sebagai suatu kajian yang katanya sukar dan tabu untuk dipelajari. Seperti misalnya, "filsafat itu sesat, filsafat itu tidak relevan dengan islam, jangan belajar filsafat, karena nanti malah jadi atheis,
filsafat itu ruwet dan jauh dari realitas, filsafat itu menjadikan orang jauh dari nilai-nilai agama", dan masih banyak lagi stigma yang ditujukan pada kajian filsafat. Stigma-stigma semacam itu tak lain ialah karena cara pandang mereka tentang perbedaan yang masih sempit dan tidak didasari dengan akal sehat.
Akan tetapi, untungnya akhir-akhir ini filsafat terselamatkan citra dirinya dari stigma semacam tadi. Stoisisme sebagai produk filsafat, sekilas seperti katalisator yang menerjemahkan, bahwasannya filsafat bukanlah suatu kajian yang muskil dan tabu untuk dipelajari.
Hal itu ditandai dengan munculnya buku filosofi teras, sampai pada maraknya tagline 'stoisisme' pada konten-konten yang dijadikan konsumsi anak muda yang sedang mengalami krisis eksistensial.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah orang Islam, pun tak mungkin menghindar dari fakta maraknya stoisisme sebagai suatu pandangan hidup yang relevan. Saya pribadi, ketika awal hendak mempelajari stoisisme pun agak skeptis, apakah ajaran ini benar-benar tepat untuk saya pelajari?
Apakah ajaran ini bukan sesuatu yang manipulatif untuk saya sebagai orang muslim? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu lantas terjawab ketika hati saya mantapkan untuk berkecimpung dalam pembahasan stoisisme.
Dalam serangkaian belajar tentang ajaran stoisisme, saya kerap diketemukan dengan situasi semacam de javu. Benak saya kerap mengatakan, "kayaknya ini sama persis deh, dengan apa yang dikatakan dalam agama Islam". Mulai dari situ, saya kemudian berupaya mengkomparasikan secara kritis,
antara nilai-nilai stoisisme dengan nilai-nilai yang ada di agama Islam. Tak banyak yang saya temukan, namun setidaknya ada sesuatu dari filsafat yang membuat kita, terutama para muslim, itu tenang dan indah dalam menjalani kehidupan di tengah pekatnya pluralitas.
Hidup Selaras dengan Alam dan Ali-Imran Ayat 190-191