Lihat ke Halaman Asli

Zamzami Tanjung

Melihat berbagai sisi, menjadi berbagai sisi, merasa berbagai sisi, berharap bijak jadi teman abadi, visit my blog winzalucky.wordpress.com, zamzamitanjung.blogspot.com and enjoy it :)

Di Bayang Jam Gadang Part-5

Diperbarui: 22 Januari 2016   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hujan rintik di tengah kabut, kala senja berganti malam, di Singgalang yang kian mencekam, lupakan dulu Jam Gadang.

Rombongan yang ada dibelakang kami itu terasa sangat aneh, disebut aneh karena ditengah gelap gunung singgalang, sekelompok orang ini berjalan tanpa penerangan, yang mereka lakukan hanya berjalan sambil bersuara sekali-kali dan dengan menggoyangkan kaleng yang terlebih dahulu diisi dengan batu, hingga ketika digoyangkan akan terdengar bunyi kerontangan.

Kami sepakat untuk menanti rombongan tersebut hingga bersatu dengan rombongan kami, hitung-hitung agar kelompok kami lebih besar lagi yang semula hanya 4 orang menjadi besar hingga 13 orang.

Setelah rombongan ini sampai, maka kami sedikit berbasa-basi dan menanyakan kenapa mereka tidak memakai penerangan, yang dijawab bahwa obor mereka basah terkena hujan. Kekasihku berkata lirih, “bang, kasih mereka lilin”, maka kami bersedia untuk membagi lilin kami dengan mereka untuk selanjutnya berjalan ke depan sana menembus kabut, menembus gelap ditengah rintih hujan senja.

Parade-parade aneh terus mengikuti dan mengiringi jalan kami.

Ditengah perjalanan, mataku tetap “berulah” dengan melihat berbagai penampakan yang menurutku sementara karena ini hanya kecapekan.

Pandangan tersebut diantaranya aku melihat sebuah kedai ditepi jalan dengan dihuni oleh seorang nenek-nenek. Ku usap mataku untuk memastikannya. Sebagaimana ajaran orang tua aku yang mendidik anaknya untuk berani, “Jika ada yang bilang Hantu!”, maka aku dididik untuk bilang, “Apaan Tu?”, aku disuruh untuk memastikan apa yang aku lihat dengan mendekati apa yang disebut dengan hantu tersebut. Ajaran ini aku turuti dengan melihat bahkan melotot memandangi sesuatu yang dibilang hantu itu, semakin dekat, aku terus melototkan mata ditengah kabut, si nenek tetap tidak menoleh dan asyik dengan pekerjaannya. Ketika semakin dekat, sebuah pohon yang aku lewati menghalangi pandanganku dengan si nenek, setelah melewati pohon tersebut aku kembali menatap dan tatapanku hanya kebingungan untuk mencari kembali si nenek dengan kedainya yang tiba-tiba hilang dari pandanganku.

Sejenak aku berpikir, mana mungkin ditengah hutan belantara ini ada kedai dengan penghuninya nenek, lagi-lagi aku menyalahkan mataku dan imajinasiku yang berlebihan.

Habis si nenek menghilang, pandanganku tertuju pada jalan yang kami tapaki, ada lagi tampak keanehan, di hampir tiga langkah kami berjalan aku melihat di jalan setapak itu terserak beberapa helai daun yang daun itu bercahaya dalam gelap. Cahaya daun itu seperti panduan kami untuk segera keluar dari hutan ini.

Sejenak aku mendengar suara azan magrib dibawah sana, ah... ternyata sudah maghrib, tempat dimana pertukaran cuaca secara dramatis dari yang semula hangat menjadi dingin. Menurut pantangan orang tua di kampung kami, adalah pantangan untuk berjalan ketika magrib tiba, “Nanti keinjak anak Iblis!” begitulah tahayul yang dikembangkan terus menerus. Azan itu memberi harapan bagi kami, bahwa sebentar lagi kami akan sampai dibawah, nurani ini seperti menikmati setiap lantunan suara azan di bawah sana, nyaman dan tenang. Namun setelah suara azan selesai, ketidaknyamanan kembali kami rasakan terutama bagi aku yang memimpin jalan.

Mataku kembali menangkap hal-hal yang aneh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline