Lihat ke Halaman Asli

Zamzami Tanjung

Melihat berbagai sisi, menjadi berbagai sisi, merasa berbagai sisi, berharap bijak jadi teman abadi, visit my blog winzalucky.wordpress.com, zamzamitanjung.blogspot.com and enjoy it :)

Mengapa Jokowi dan Ahok bisa begini?

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi, sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Negara Indonesia yang besar dan luas dari segi georafis serta terdiri dari beribu-ribu pulau yang dibatasi dengan laut, akan tidak mungkin dapat melaksanakan demokrasi secara terpusat. Oleh karena itu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 mengatur pemerintahan daerah. Sebagai konsekwensi yuridis konstitusional, maka dibentuklah pemerintahan daerah yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.[1]

Pasal 18 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, sebagai norma dasar dari pemerintahan daerah secara tegas menyatakan:

“Pemerintah provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah kemudian dilakukan berdasar prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Keberadaan pemerintah daerah secara konstitusional, dimana wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah serta bentuk susunan pemerintahannya diatur dengan undang-undang. Pemerintahan negara membagi-bagi pemerintahan menjadi pemerintah daerah, yang bertujuan mempercepat dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.[2]

Dinamika pemerintahan daerah pasca perubahan Undang Undang Dasar Tahun 1945 mengalami pasang-surut yang menjadi topik menarik semua unsur, mulai dari malah bongkar-pasang undang-undang pemerintahan daerah, pengurangan dan penambahan lembaga negara atau transaksi politik pada pemilihan Kepala Daerah, masalah pemekaran daerah, konflik kebijakan publik, keluhan pelayanan terpadu, kemiskinan, kemanan dan ketertiban masyarakat, korupsi anggaran, dan pengisian jabatan wakil Kepala Daerah yang berhubungan juga dengan masalah hubungan antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.

Pasal 18 Ayat(4) menyatakan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dalam Pasal 18 UUD ini dapat ketahui tidak ada sama sekali menyebutkan keberadaan dari wakil Kepala Daerah.Kedudukan wakil Kepala Daerah muncul dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan setiap daerah dipimpin seorang Kepala Daerah dan di bantu oleh seorang wakil Kepala Daerah. Pemimpin daerah selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga merupakan pasangan pejabat publik yang terpilih berdasarkan political recruitmen atau model pemilihan yang bersifat langsung dan menjalankan amanah rakyat.

Secara substansi persoalan krusial retaknya hubungan karena berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki wakil. Pasal 26 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan tugas dari wakil Kepala Daerah adalah:


  1. Membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
  2. Membantu Kepala Daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
  3. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil Kepala Daerah provinsi;
  4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil Kepala Daerah kabupaten/kota;
  5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
  6. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan Kepala Daerah; dan
  7. Melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan;
  8. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimasud pada ayat (1), wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah; dan
  9. Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya apabila Kepala Daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Fakta yang penulis dapati dilapangan berdasarkan pengamatan penulis yang hampir mengenal hampir sebahagian besar wakil Kepala Daerah Provinsi, Kota atau Kabupaten di Sumatera Barat, maka penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa kedudukan, tugas dan wewenang wakil Kepala Daerah tidak begitu jelas nampak terlihat. Hal itu bisa dimaklumi secara politis bahwa terdapat persaingan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dimana Kepala Daerah seperti tidak ingin dilampaui oleh wakilnya dari segi popularitas. Dengan demikian Kepala Daerah tidak memberikan banyak tugas dan wewenang kepada wakil Kepala Daerah. Contoh hubungan yang koordinatif dan sinergis antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang bisa dijadikan teladan berdasarkan pemberitaan media massa yang gencar beberapa waktu yang lalu seperti pada koordinasi dan sinergi antara Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan wakil Gubernurnya. Selebihnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa seringkali antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah tidak sejalan.

namun pada kenyataannya, kenyataan bahwa antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah sering tidak sejalan dibantah oleh Jowi dan ahok, yang untuk sementara ini nampak akur dengan pembagian tugas eksternal dan internal mereka. seolah tidak terdapat ruang persaiangan antara mereka. persaingan yang nampak bahwa mereka berkompetesi untuk lebih maju. dalam kompetesi tersebut sepertinya tidak ada konflik. tapi mungkin karena mereka baru dilantik, dan belum dekat dengan pilkada jakarta selanjutnya.

contoh yang diperagakan oleh Jokowi dan Ahok adalah contoh yang seharusnya membuat cemburu daerah daerah lainnya di Indonesia. dimana persaingan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah kental terasa apalagi, jika kepala daerah dan wakil kepala daerah masih dalam periode pertama dalam artian terbuka kemungkinan untuk mencalonkan diri kembali. contoh yang diberikan oleh Jokowi dan ahok juga akan menjadi pertanyaan besar apakah perlu menata sistem dari awal yaitu dari pembentukan regulasinya atau mengenai moralitas saja yang lebih dipentingkan.

mengapa Jokowi dan Ahok bisa se akur itu sementara antara kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya di Republik ini tidak bisa memperagakan permainan kolektif ala joko-ahok? bisa jadi terdapat kemungkinan-kemungkinan seperti ini.  pertama, mereka baru terpilih. jadi belum terdapat jurang konflik yang lebar antara keduanya. kedua, mereka berdua adalah orang yang lebih mengutamakan moralitas ketimbang sistem itu sendiri. aturan yang terhebat itu adalah moral bukan aturan hukum yang banyak celahnya tersebut. ketiga, terdapat satu orang yang lugu (naif/polos), sehingga tidak akan membahayakan jalannya pemerintah Provinsi. ke empat, terdapat kontrak politik antara joko dan ahok sebelum maju menjadi calon Gubernur dan calon wakil gubernur. pada sisi ini patut diwaspadai bahwa ada invisible hand yang bermain diantara kedua orag tersebut, namun siapa?

jokowi dan ahok bisa, mengapa yang lain tidak bisa?

[1]I Nengah Suriata, Fungsi Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sesuai Dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, 2011, h., 1.

[2]Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, h.,1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline