Lihat ke Halaman Asli

Antara Susi, Yusril dan Nasionalisme yang Tergerus

Diperbarui: 13 Desember 2015   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14 Juli 2015. Headline suatu harian terkemuka memberitakan tentang penangkapan kapal Silver Sea 2 oleh KRI Teuku Umar. Fantastis. Kapal kargo berbendara Thailand dengan bobot mati 2.385 GT tersebut ditangkap sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh Sabang. Muatannya juga cukup mencengangkan, ditemukan barang bukti ikan sebanyak 1.930 ton. Dalam press conference, Susi Pudjiastusti, The Big Commander KKP menyatakan kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dan ditengarai melakukan transhipment hasil tangkapan di Laut Arafuru. Singkatnya, ini merupakan kejahatan korporasi perikanan yang berskala internasional.

Lima bulan berlalu, dan sontak kemarin saya terkejut membaca berita bahwa manajemen Silver Reefer Co. Ltd menggandeng Yusril Ihza Mahendra untuk menjadi kuasa hukum Yotin Kuarabiab, nakhoda kapal Silver Sea 2 yang mencoleng ikan di perairan Indonesia itu. Menjadi pertanyaan besar mengapa Yusril bersedia menjadi penasehat hukum tersangka. Apa sebenarnya motif Yusril bersedia menjadi lawyer kasus tersebut yang terbilang “ecek-ecek” sementara masih banyak kasus besar yang mengantre untuk ditangani. Sebelum sampai pada substansi, saya ingin mendeskripsikan kedua tokoh sentral ini, Susi dan Yusril sesuai dengan sepak terjangnya masing-masing.

Menarik untuk membandingkan Susi dan Yusril dalam suatu diskusi di warung kopi. Keduanya ibarat selebritis yang memiliki follower tersendiri di dunia maya. Susi dengan latar belakang pengusaha perikanan yang diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kabinet kerja, tentu dengan memperhatikan integritasnya dalam memperbaiki segala persoalan yang membelit sektor perikanan Indonesia. Tidak butuh waktu bertahun-tahun, Susi melakukan langkah progresif revolusioner dengan menenggelamkan kapal asing yang melakukan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal, tidak terlaporkan dan tidak teregulasi. Di internal KKP, Susi melakukan reformasi birokrasi dengan mengganti hampir semua pejabat eselon I dengan menerapkan open bidding. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk menjamin bahwa laut adalah masa depan bangsa dengan tiga pilar penopang yaitu kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan. Perempuan paruh baya itu praktis menjadi populer di media akibat gaya kepemimpinannya. Tidak salah pula ketika Lembaga Survei Indonesia (LSI) memberikan penilaian positif terhadap kinerja menteri pemilik maskapai penerbangan Susi Air tersebut sebesar 61.1 % sebagai menteri yang paling disukai rakyat. Kemampuan berkomunikasi dengan media dan tegas dalam mengambil kebijakan publik merupakan alasan utama tingginya kepuasan publik.

Berbeda dengan Yusril yang merupakan pakar hukum tata negara, politikus dan intelektual yang secara akademik bergelimang gelar. Itupun masih ditambah dengan gelar Datuk Maharajo Palinduang. Rekam jejak pria kelahiran Belitung Timur, 5 Februari 1956 tersebut terbilang bagus dalam pemerintahan. Sebagai mantan menteri, Yusril tentu lebih berpengalaman mengecap pahit manisnya birokrasi. Ketika jabatan menteri tidak lagi dipegang seperti dulu, masih ada jabatan ketua Partai Bulan Bintang (PBB) yang disandangnya. Sekarang dalam posisi sebagai pengacara senior pun, Yusril tetap dipercaya menangani kasus besar yang beraroma politik. Yah, termasuk sengketa partai anggota KMP itu juga.

Saya menganalisis kasus Silver Sea 2 ini dari dua faktor. Pertama, murni an sich semata-mata melihat klien yang dibela merupakan orang asing yang butuh perlindungan dan kepastian hukum atas dasar keadilan. Proses peradilan yang sedang berjalan harus dihormati dan Yusril melihat ini bukan hal yang luar biasa, tetapi merupakan panggilan nuraninya untuk memberikan pendampingan kepada tersangka. Yah, pure professional. Tidak ada orientasi materi. Bukan hanya membela sang nakhoda, tetapi menjamin hak-haknya untuk memastikan bahwa siapapun jaringan yang bekerja dalam mata rantai mafia pencurian ikan ini harus terungkap. Jika memang salah, maka tindakan sang nakhoda tentu melibatkan para pihak termasuk yang melakukan pembiaran transhipment maupun pemberian ijin tangkap.

Kedua, ada manuver politik yang sedang dimainkan Yusril melalui kasus ini dan itu dimanfaatkan oleh mafia perikanan kita. Dia tahu betul berhadapan dengan Susi yang koppig, keras kepala dan tegas harus dengan treatment khusus, apalagi kalau bukan dengan memperlihatkan powernya sebagai ahli hukum. Dengan reputasi Yusril yang mentereng, pasti Susi akan melunak. Tapi Susi adalah Susi, no deal for illegal fishing crime. Ibarat pegas, semakin ditekan maka semakin kuat daya lenturnya. Berseberangan dengan Susi tentu akan semakin kental meningkatkan posisi tawarnya dihadapan pemerintahan Jokowi.

Sikap politik Yusril yang berseberangan dengan pemerintah berbeda dengan sejawatnya. Sebagai contoh, Zulkifli Hasan yang berhasil membawa gerbong Partai Amanat Nasional ke kubu pemerintah pasca kongres setelah sebelumnya partai yang merupakan anak kandung reformasi tersebut berafiliasi dengan Koalisi Merah Putih. Sikap Zulkifli yang terkesan pragmatis tersebut diterjemahkan untuk memperkuat stabilitas perekonomian bangsa dengan mengubah haluan politik. Pada titik ini saya sepakat. Ketimbang menghabiskan energi untuk membentuk sayap oposisi, mari mencairkan kebekuan politik dengan sama-sama membangun negara ini dan pilihan Zulkifli tidak salah.

Yusril sebagai sosok yang lebih banyak menebar prestasi ketimbang sensasi, tindakannya tersebut merupakan anomali. Partai yang dipimpinnya tidak mampu menorehkan suara signifikan dalam Pemilu 2014. Elektabilitas partai yang merosot tajam berbanding terbalik dengan popularitas sosoknya yang melesat tinggi. Pada level ini, Yusril mungkin masih malu-malu kucing membawa haluan partainya berjalan bersama-sama pemerintah. Ada keengganan melepaskan egosentrisme pribadi ketimbang kepentingan partai yang jauh lebih besar.

Kembali ke substansi kasus, mafia perikanan di negara ini tentu sudah lempar handuk dengan kebijakan Susi yang pro nelayan. Maka dibuatlah skenario untuk membenturkan mereka berdua (Susi dan Yusril) melalui kasus Silver Sea 2 ini. Susi yang sudah belajar dari pengalaman kasus MV. Hai Fa yang divonis bebas tidak ingin terulang kembali. Negara siap menghadapi pencuri ikan yang bersembunyi di ketiak para mafia.

Publik tentu menyayangkan sikap yang diambil Yusril. Apapun yang dilakukan Yusril dengan pilihannya tersebut, tentu akan dinilai publik mencederai rasa keadilan. Stereotip sebagai sosok yang tidak nasionalis pun dialamatkan padanya. Opini publik yang terbangun sekarang memposisikan Yusril sebagai seorang loser, pecundang. Betapa tidak, disaat pemerintah sedang mengibarkan panji-panji kedaulatan melalui pemberantasan illegal fishing, Yusril malah menjadi corong penasehat para penjarah ikan.

Mungkin Yusril lupa, Daren Acemoglu dan James A. Robin telah menarasikan dalam bukunya, Why Nations Fail : The Origins of Power, Prosperity and Poverty tentang histori bagaimana suatu wilayah yang kaya raya bernama Maluku namun berubah miskin akibat kedatangan bangsa Eropa. Jika dibawa ke konteks kekinian, penjarahan ikan di laut kita yang sedang ditumpas oleh Susi beserta kementeriannya merupakan kontekstualisasi dari upaya bangsa Indonesia untuk tidak jatuh kedalam belenggu penjajahan dan kemiskinan. Tapi sudahlah, menasehati orang seperti Yusril seperti menggarami laut, semua akan sia-sia dan tidak benar dimatanya. Saya mah apa atuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline