Lihat ke Halaman Asli

Pelarangan Ikan Hias di Kabupaten Banggai Laut, Solusi Atau Ancaman ?

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Kabupaten Banggai Laut Propinsi Sulawesi Tengah secara resmi telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 047/109/Bag. Umum/2014 tertanggal 23 Juli 2014 tentang Larangan Usaha Ikan Hias dan Komoditas Perikanan Dilindungi di Kabupaten Banggai Laut. Dalam surat edaran tersebut, terdapat 4 (empat) poin yang ditekankan yaitu : 1)Dilarang/tidak diperbolehkan melakukan usaha penangkapan ikan hias laut dan komoditas perikanan yang dilindungi di wilayah kabupaten Banggai Laut dalam bentuk apapun; 2)Dilarang/tidak diperbolehkan melakukan pengangkutan, penampungan dan memasarkan ikan hias laut dan komoditas perikanan yang dilindungi dalam bentuk apapun; 3)Dilarang/tidak diperbolehkan membawa/mengeluarkan ikan hias laut dan komoditas perikanan yang dilindungi dari wilayah kabupaten Banggai Laut dalam bentuk apapun; 4)Bagi yang melakukan pelanggaran terhadap ketiga pont diatas maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku.

Sebagai sebuah produk hukum, tentunya surat edaran ini perlu diapresiasi dan merupakan terobosan bagi pemerintah Kabupaten Banggai Laut dalam menjaga dan mengamankan sumber daya ikan di wilayahnya. Tetapi disisi lain, kebijakan ini perlu dikritisi apakah dengan terbitnya surat edaran tersebut akan mampu menjamin ketertiban dalam pengelolaan sumber daya ikan hias atau malah sebaliknya akan menciptakan konflik pengelolaan yang tidak berujung. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba melakukan brainstorming tentang pengelolaan sumberdaya ikan hias di kabupaten Banggai Laut, yang kesemuanya tentu didukung oleh data dan instrumen hukum dan dilandasi dengan dialektika pemikiran dan pisau analisis yang kuat.

Kabupaten Banggai Laut yang baru seumur jagung, terbentuk melalui UU Nomor 5 tahun 2013 ini memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Dengan dukungan geografis dimana wilayah perairan lebih besar dari daratan, maka sektor perikanan dan kelautan berbasis masyarakat diharapkan menjadi primadona andalan daerah ini., terutama untuk komoditi ikan pelagis (tuna, tongkol, cakalang), rumput laut, kerapu, dan ikan hias.

Pertanyaan yang mengemuka sekarang adalah adalah apakah pelarangan ikan hias ini telah melalui sebuah kajian akademik yang sistematis dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, disini kita akan menemukan titik singgungnya.

Pertama, dalam roadmap industrialisasi perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 tahun 2013 tentang Rencana Strategis 2010-2014 yang tertuang dalam Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Utama dan Target 2013 dan 2014. Salah satu sasaran strategis KKP adalah program peningkatan daya saing produk perikanan yang diarahkan pada fasilitasi pengembangan hasil perikanan non konsumsi, dimana salah satu produk unggulan adalah ikan hias laut. Di tahun 2014, KKP menargetkan nilai produk non konsumsi sebesar Rp. 2 triliun. Tentunya informasi ini menjadi kontraproduktif jika disandingkan dengan aturan pelarangan ikan hias di Kabupaten Banggai Laut sehingga bisa dikatakan pemerintah Kabupaten Banggai Laut tidak mendukung target yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan secara nasional.

Kedua, pelarangan komoditi perikanan dalam bentuk penangkapan, distribusi, maupun konsumsi dibenarkan sepanjang telah melalui kajian ilmiah yang valid dan akurat. Sebagai contoh, penetapan status perlindungan penuh ikan hiu paus (Rhynchodon typus) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2013 telah melalui kajian dan rekomendasi oleh otoritas ilmiah dalam hal ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selain itu, ada Peraturan Menteri Kelautan Nomor 35 tahun 2013 telah mengatur tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa penetapan status perlindungan jenis ikan dilakukan melalui prosedur : 1) usulan inisiatif, 2) verifikasi usulan, 3) konsultasi publik, 4) analisis kebijakan, 5) rekomendasi ilmiah, dan 5) penetapan status perlindungan jenis ikan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah LIPI telah mengkaji status ikan hias di Banggai Laut sehingga muncul aturan pelarangan tersebut. Apakah SKPD terkait memiliki data stock assessment ikan hias yang dilarang untuk diperdagangkan ataukah aturan ini muncul hanya karena faktor emosional semata. Tentu akan sangat fatal jika aturan ini disandingkan dengan UU Nomor 45 tahun 2009 Pasal 7 ayat 1 bahwa yang menetapkan jenis ikan yang dilindungi adalah Menteri dan bukan Kepala Daerah.

Ketiga, pelarangan ikan hias di Banggai Laut secara makro akan berdampak terhadap ekonomi masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas pengelolaan ikan hias. Bisa dibayangkan, Nilai Tukar Nelayan (NTN) akan mengalami penurunan signifikan ketika aturan ini diterapkan. Sekedar informasi, bahwa target Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk Nilai Tukar Nelayan di tahun 2014 adalah 112. Apakah pemerintah Banggai Laut akan membiarkan nelayan tetap berada di bawah garis kemiskinan atau memiliki niat untuk mengentaskan kemiskinan yang telah sekian lama mengegerogoti masyarakat pesisir kita. Pelarangan ikan hias akan mengganggu rantai tata niaga mulai dari nelayan, suplier, sampai eksportir sehingga bisa mengganggu produksi perikanan secara nasional. Kemudian, yang harus dikaji apakah aturan pelarangan ini bersifat tetap atau bersifat sementara (moratorium). Jika bersifat tetap, pemerintah daerah harus bisa menjamin Nilai Tukar Nelayan pemanfaat/pengolah ikan hias minimal bisa konstan, tidak mengalami penurunan. Selain itu, pelarangan ini secara langsung akan memicu pelanggaran dalam bentuk kegiatan penangkapan dan lalu lintas ikan hias secara ilegal tanpa melalui pintu-pintu pengeluaran yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan sumber daya pengawas perikanan yang terbatas, apakah mampu mengcover wilayah Banggai Laut yang begitu luas. Persoalan ini klasik tetapi sampai sekarang belum bisa terpecahkan. Selama ini, orientasi pendekatan yang dilakukan oleh daerah dalam mengelola sumber daya ikan hias selalu berorientasi pada hasil, bukan pada proses sehingga dalam perjalanannya proses penangkapan ikan hias tidak pernah disertai dengan pembinaan atau pendampingan oleh instansi terkait, sehingga nelayan tidak pernah mengalami kemajuan dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Sektor hilir diprioritaskan sementara sektor hulu diabaikan.

Keempat, surat edaran pelarangan ikan hias merupakan produk kebijakan publik yang tidak populer dan tidak pro rakyat. Betapa tidak, di saat kabupaten lain berlomba-lomba mempromosikan komoditi unggulan daerahnya masing-masing. kabupaten Banggai Laut malah mengeluarkan aturan yang secara kontraproduktif mematikan ekonomi masyarakat. Surat edaran ini juga tanpa didahului oleh proses sosialisasi dan konsultasi publik untuk mendengarkan dan mengakomodasi keinginan masyarakat pemanfaat dan stakeholder perikanan. Yang muncul di permukaan adalah, proses sosialisasi itu diserahkan kepada camat dan kepala desa. Apakah seorang camat dan kepala desa bisa dengan cerdas menerjemahkan suatu produk kebijakan publik yang bersifat teknis ? Tentu kita masih ingat, larangan perdagangan bambu laut (Isis hippuris) beberapa waktu lalu dengan menggunakan instrumen hukum Surat Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S. 23/596/DISKANLUT tertanggal 27 Oktober 2009 itu tidak bisa diterapkan di Banggai Laut karena tidak bisa mengakomodir kepentingan oknum aparat yang bermain dalam bisnis pengelolaan bambu laut yang dilakukan secara ilegal serta penegakan hukum yang lemah. Yang memiliki kompetensi untuk menjalankan UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan adalah Pengawas Perikanan dan bukan Satpol PP. Satpol PP dibutuhkan hanya untuk mengamankan produk kebijakan Pemda seperti Peraturan Daerah dan jika diminta oleh Pengawas Perikanan. Kemudian jika kita menggunakan analisis kontra opini, bisa jadi kita berprasangka ada kemungkinan larangan ini diterapkan secara terstruktur, masif dan sistematis untuk nelayan kecil dan stakeholder perikanan yang tidak memiliki akses ke wilayah kekuasaan dan cenderung menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Hal-hal seperti ini yang harus transparan dijelaskan ke publik.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan pesan bahwa pelarangan ikan hias bukanlah solusi efektif untuk meminimalisir destructive fishing maupun illegal fishing. Yang dibutuhkan oleh nelayan adalah pengendalian, proteksi dan pembinaan agar produk perikanan yang mereka hasilkan berkualitas dan mampu bersaing di pasar lokal maupun internasional. Untuk pemerintah daerah, yang dibutuhkan adalah harmonisasi, sinkronisasi, koordinasi dan integrasi aturan dengan instansi terkait agar tidak tumpang tindih dan cenderung menyalahkan satu sama lain sehingga kita bisa mengelola sumber daya ikan hias secara terencana dan berkelanjutan. Kalau bukan kita kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Semoga.


(Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline