Mereka -- meraka yang tertarik pada sejarah Pulau Jawa pada umumnya dan sejarah Tanah Sunda pada khususnya mengenal isi perjanjian ini serta kondisi pembuatannya antara orang Portugis dan sejumlah penguasa politik Tanah Sunda. Pengetahuan ini Sebagian besar mereka peroleh dari catatan dua penulis kronik terkenal asal Portugis, terutama Joao de Barros dan juga Dioho do Couto. Pentingnnya peristiwa ini -- begitu pula akibatnya -- diakui oleh umum karena membantu untuk memahami dan menanggali dengan tepat perebutan kekuasaan daerah tersebut oleh orang -- orang Muslim. Penafsiran teks yang terkenal itu tampaknya sudah diakui benar. Meskipun demikian di bawah ini kita akan mencoba memperlihatkan bahwa " perjanjian " tersebut perlu dibahas kembali dan bahwa dokumen -- dokumen yang baru ditemukan atau yang sudah lama diketahui, yang semasa dengan peristiwa tersebut, jelas menunjukan kekeliruan penafsiran tersebut. Seperti umumnya suatu pembuktian, ini pun harus dikerjakan dengan ketekunan dan ketelitian, mungkin membosankan dan tidak mudah dibaca. Meskipun demikian argument -- argumennya harus dibicarakan.
Joao de Barros
Tahun 1522, Jorge de Albuquerque, " kapitan " kota Melaka mengirim sebuah kapal yang dipimpin oleh Henrique Leme menghadap Samiam, raja Sunda, untuk menjalankan urusan perdagangan. Pada saat utusan tersebut tiba " di Pelabuhan, raja tersebut menerima orang -- orang Portugis dengan baik. Guna memperoleh bantuan mereka dalam peperangan yang sedang berlagsung melawan orang Islam, dan untuk memperkuat hubungan dagang, orang Portugis diberi hak untuk membangun sebuah benteng dan dijamin bahwa mereka boleh memuat lada sejumlah yang mereka kehendaki. Selain itu, raja pun berjanji memberikan 1.000 karung lada setiap tahunnya kepada raja Portugal mulai hari dibangunnya benteng tersebut.
Perjanjian itu dibuat secara tertulis, tiga orang Menteri setempat turut ambil bagian dalam pembicaraan tersebut : " Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pete dan Bengar, syahbandar setempat ". Atas perintah raja, mereka mengantar Leme ke tempat akan dibangunnya benteng tersebut, di sebelah kanan muara sungai, di kawasan yang dinamai Calapa. Di sana orang Portugis mendirikan sebuah padro ( tugu peringatan ). Selanjutnya Leme pulang ke malaka. Jorge de Albuquerque menilai hal itu sangat penting dan menulis kepada raja Portugal untuk meminta persetujuannya. Joao III menyetujui usaha tersebut dan mempercayakan pelaksanaanya kepada Francisco de Sa yang berangkat dengan armada yang dipimpin oleh Vasco de Gama, wakil raja di India yang baru. Karena Vasco de Gama kemudian wafat maka Franscisco de Sa diberikan tugas yang lain dan tinggal beberapa waktu di Goa.
Ketika Francisco tiba di Malaka, armada Portugis sedang menyiapkan serangan terhadap Pulau Bintan di bawah Pimpinan Pero Mascarenhas. Francisco de Sa dengan armadanya bergabung dan setelah selesai serangannya baru berangkat menuju " Sunda ". Armadanya terserang badai. Duarto Coelho, salah seorang kapten armada tersebut, berhasil sampai di Calap, sementara kapalnya terdampar disitu. Semua penumpang kapal diserang oleh orang -- orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari raja bukan Islam, sahabat orang Portugis.
Orang Islam yang telah merebut kota itu adalah orang rendahan bersama Falatehan asal Pasai. Sewaktu Pasai baru saja direbut oleh Portugis, Falatehan pergi berlayar menuju Mekah dengan kapal yang memuat rempah -- rempah, dan tinggal di sana selama kira -- kira dua atau tiga tahun untuk belajar agama Islam. Sekembalinya di Pasai, ia menganggap tidak mungkin dapat mengajarkan agam Islam di dekat benteng orang Portugis. Oleh karena itu, ia lalu pergi ke Jepara, berhasil mengislamkan rajanya dan ia sendiri menjadi kadinya. Sebagai imbalan, raja memberikan kepadanya saudara perempuannya untuk diperistri. Terdorong oleh keinginan untuk mengislamkan banyak orang Falatehan meminta izin kepada raja untuk pergi ke " Bintam, kota di Sunda ".
Ia diterima dengan baik di kota itu oleh seorang tokoh setempat yang kemudian masuk Islam. Ketika Falatehan menganggap keadaan di kota itu cocok untuk melaksanakan rencananya, ia meminta kepada raja Jepara untuk mengirimnya pasukan tantara. Raja Jepara menyanggupinya dan segera mengirimkan dua ribu orang tantara. Tokoh setempat tadi, sahabat Falatehan, sempat memberitahukan keadaan para raja, namun Falatehan tetap memegang kekuasaan. Ketika Franscisco de Sa tiba di " Pelabuhan Sunda ", kedudukan pengkhianat Falatehan begitu kuat sehingga mampu melarang pembangunan benteng itu. Orang Portugis bermusyawarah dan setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan peperangan, mereka pulang ke Malaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H