Lihat ke Halaman Asli

Menghitung Dampak Kebijakan Kenaikan Tarif Cukai

Diperbarui: 10 November 2015   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Cukai rokok ditarget mengalami kenaikan setiap tahunnya. Nilainya pun sangat fantastis. Pada 2015, target cukai rokok adalah Rp 139 triliun, dan tahun 2016, target itu mengalami kenaikan cukup tinggi, yakni Rp 146,43 triliun, dengan kenaikan tarif cukai sekitar 15 % dari tahun 2015.

Tarif cukai rokok di Indonesia yang selalu mengalami kenaikan tiap tahun, ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan karena adanya pengaruh dari Framework Convention on Tobacco Control (FTCT) yang oleh kelompok antitembakau diminta segera diratifikasi.

Kebijakan menaikkan cukai setinggi mungkin, ini merupakan rekomendasi dalam guideline hasil pertemuan Conference of Parties (CoP) ke-4 di Uruguay pada 2010, yakni menerapkan tarif cukai dan pajak mencapai 80 persen dari harga rokok.

Kebijakan memungut tinggi cukai dan pajak rokok, betujuan mengurangi tingkat konsumsi terhadap rokok, namun ini tidak teralisasi. Tarif tinggi cukai dan pajak tinggi justru memicu perdagangan rokok gelap (rokok ilegal), karena telah melampaui daya beli masyarakat.

Ada empat hal yang bisa timbul dengan adanya kebijakan cukai dan pajak tinggi terhadap rokok ini. Pertama, mematikan pabrikan level kecil dan menengah. Mengapa ini terjadi, karena keuntungan pabrikan rokok kecil lebih sedikit dari pendapatan yang diperoleh Negara melalui cukai dan pajak.

Dampak dari tingginya tarif cukai dan pajak rokok, adalah penyusutan jumlah pabrik dari tahun ke tahun. Pada 2009, pabrikan rokok secara nasional berjumlah 3.225 unit, yang menyusut tajam pada tahun berikutnya (2010) menjadi 2.600 unit. Penyusutan tajam juga terjadi pada 2013 hingga tinggal 800 unit, dan tahun berikutnya (2014) bahkan semakin memprihatinkan, yaitu tinggal 600 unit.

Kedua, memudahkan subtitusi industri kretek nasional. Dengan menyusutnya industri kretek nasional, akan memberikan jalan lapang bagi kelompok tertentu (terutama Multinational Corporation, MNC) dalam memenangi persaingan di sektor industri kretek. Karena industri ini memiliki nilai ekonomi (omzet) yang sangat besar, yaitu sekitar Rp. 276 triliun, berdasarkan data yang dikeluarkan Ernset & Young pada 2015.

Ketiga, menaikkan pendapatan negara. Ini bisa dipahami karena dari total Rp. 276 triliun omzet industri kretek itu, 52,7 % masuk ke negara melalui cukai dan pajak. Jadi, praktis kenaikan cukai dan pajak itu sebetulnya bertujuan untuk menaikkan pendapatan negara. Sayangnya kenaikan tarif cukai ini tanpa memperhitungkan kondisi riil dan keberlangsungan industri kretek nasional, khususnya bagi kelompok usaha kecil dan menengah.

Keempat, pemicu meningkatnya perdagangan rokok ilegal. Makin tinggi nilai cukai dari tingkat keekonomian, kemungkinan paling besar yang akan terjadi adalah makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah, yang pada gilirannya justru mendorong potensi munculnya rokok ilegal.

Potensi produkssi rokok ilegal tinggi karena; 1) mudahnya mengakses terhadap bahan baku rokok, 2) Jumlah penduduk yang besar sebagai pasar potensial, 3) Relatif stabilnya tingkat kesejahteraan masyarakat, 4) Menyebarnya tingkat keterampilan membuat rokok di masyarakat, 5) Bentuk negara Indonesia yang kepulauan menyuliskan pengawasan, 6) Tidak idealnya ratio antara jumlah pengawas dengan luasan area dan jumlah penduduk       

Bisa dipahami, bahwa niat menaikkan cukai dan pajak rokok, adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun mestinya pemerintah tidak hanya menjadikan industri kretek sebagai ‘’sapi perah’’, namun ada upaya-upaya lain di luar cukai rokok yang bisa digali oleh pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline