Lihat ke Halaman Asli

Pandangan berbeda tentang Jaminan Kesehatan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

JAMINAN KESEHATAN UNTUK RAKYAT HARUS BENAR-BENAR GRATIS ! RAKYAT HARUS BENAR-BENAR TIDAK BOLEH BAYAR !


Oleh: Ganjar Krisdiyan

I. Pendahuluan

Jaminan Sosial sudah sejak setahun lalu marak menjadi bahan perdebatan, dikalangan gerakan secara umum dapat dibagi menjadi dua pendapat besar antara yang mendukung untuk segera dilaksanakannya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kelompok yang menolak UU tersebut. Kelompok pertama diwakili oleh Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) yang merupakan aliansi dari serikat-serikat buruh, dengan motor utamanya adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), sedangkan kelompok kedua diwakili oleh Koalisi Jaminan Sosial Pro Rakyat (KJSPR) yang dimotori oleh Dewan Kesehatan Rakyat (DKR). Isu tentang Jaminan Sosial menjadi penting, karena selain telah melibatkan dua konsolidasi besar, adalah juga dikarenakan menyangkut konsepsi yang diajukan masing-masing, sehingga penting bagi kita untuk memberikan posisinya.

II. Kritik substansial terhadap UU No. 40 Tahun 2004 dan RUU BPJS inisiatif DPR

Sekarang marilah kita melihat pada pokok yang lebih fundamental, terkait pertanyaan, apakah UU tentang Jaminan Sosial yang disusun oleh Pemerintah dan RUU BPJS inisiatif DPR atau KAJS menguntungkan rakyat atau tidak dan pertanyaan lanjutan apakah pemerintah mampu (memiliki dana yang cukup) untuk melaksanakan SJSN.

Secara substansi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengandung ruh Asuransi sosial (compulsory social insurance), seperti yang disampaikan sendiri oleh penyusunnya Prof. Dr. Yaumil Chairiah Agoes Achir, selaku Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial SJSN Nasional dan Dr. Sulastomo MPH, yang juga adalah mantan direksi Askes atau secara eksplisit juga dinyatakan dalam pasal-pasal undang-undang ini, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran untuk memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Tentang besaran iurannya, (menurut UU SJSN) akan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang selalu dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Konsep asuransi sosial ini, jelas bertentangan dengan keharusan negara untuk menjamin kesejahteraannya rakyatnya. Dengan mewajibkan iuran kepada rakyat, artinya rakyat harus menjamin sendiri dirinya dan keluarganya, atau dengan kata lain Jaminan Sosial tidak benar-benar gratis!

Keberatan utama pemerintah dalam menjalankan SJSN bagi seluruh rakyat adalah dengan menghitung kemampuan fiskal, menurut Askolani mewakili Ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Soemantri Brodjonegoro, disampaikan bahwa APBN akan terbebani Rp 94,85 trilyun yang berasal dari iuran jaminan kesehatan keluarga miskin dan tidak mampu serta iuran program jaminan sosial yang dibayar pemerintah sebagai pemberi kerja pegawai negeri, anggota Tentara Nasional dan Kepolisian RI (atau masih terdapat kekurangan Rp 30 trilyun untuk menutupi seluruh kebutuhan dana jaminan sosial) dari alokasi untuk belanja sosial tahun 2012 sebesar Rp 64,85.

Menurut para ekonom, alasan pemerintah tersebut tidak masuk akal, dan memang seolah-olah menjadi logis karena pertama pendanaan utama SJSN menurut UU No. 40 Tahun 2004 terutama berasal dari iuran peserta kedua dalam 10 tahun target kepesertaan SJSN memang diperuntukan terlebih dahulu bagi peserta dari 4 BUMN penyelenggara asuransi (PT. ASKES, PT. JAMSOSTEK, PT. ASABRI dan PT. TASPEN), yang secara bertahap akan diperluas menjangkau seluruh rakyat, artinya dalam tahap awal penerapan SJSN ini memang akan diberlakukan untuk pekerja. Ketiga dalam tahap awal juga pembiayaan SJSN terutama diperuntukan hanya untuk Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat, dimana saat ini untuk kebutuhan kesehatan, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Siti Fadilah Supari diperlukan dana sebesar Rp40 trilun, atau Rp25 triliun menurut hitungan Faisal Basri bahkan menurut hitungan DKR hanya dibutuhkan anggaran sebesar 17,5 triliun saja, kebutuhan dana ini jika diperhitungkan dengan dana yang ada untuk membiayai program-program sosial memang sudah cukup. Keempat proyeksi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang melebihi rata-rata 60% selama tahun 1995 hingga 2007, trutama sektor manufaktur dan perdagangan, sehingga kedua sektor ini akan sanggup menyerap tenaga kerja formal yang berpotensi membayar pajak dan iuran jaminan sosial dan bermuara pada peningkatan kemampuan fiskal negara.

Solusi-solusi tersebut jelas bukan jalan keluar, seandainyapun kita setuju bahwa yang terutama untuk digratiskan adalah Jaminan Kesehatan bagi rakyat (karena menyangkut tanggung jawab sosial Negara) –yang sebenarnya masih bisa dipenuhi oleh pemerintah dengan anggaran yang ada—, namun didalam UU SJSN, masih membebankan pekerja untuk mengiur dalam program kesehatan. Disamping masih ada persoalan lainnya, yaitu tentang pentahapan, baik jenis jaminannya dan jangkauan penerima manfaat Jaminan Sosial (10 tahun bagi yang bukan pekerja), artinya fakir miskin harus menanggung sekarat hingga 10 tahun kedepan karena hakhak sosialnya tidak dijamin negara, juga yang masih menjadi persoalan adalah adanya pembatasan-pembatasan dan kekurangan-kekurangan lainnya dalam program Jaminan Kesehatan (akan dijelaskan lebih lanjut secara khusus dalam sub tema berikutnya).

III. Kritik atas pasal-pasal didalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline