Setelah merdeka dari tindasan penjajah pada tahun 1945, bangsa ini akhirnya jatuh hati pada demokrasi sebagai model pemerintahan. Demokrasi dianggap pilihan terbaik sebagai alternatif sistem pemerintahan sebelumnya seperti monarki, aristokrasi, teokrasi, plutokrasi, dan banyak lagi krasi-krasi lainnya. Kelahiran demokrasi membawa sebuah misi besar untuk memerdekakan rakyat sipil yang selama ini dilihat hanya sebagai kaki tangan penguasa dalam model pemerintahan di atas. Misi besarnya ialah menjadikan rakyat banyak sebagai pemegang stir dalam pemerintahan. Hal ini dianggap sebagai trobosan progresif revolusioner karena selama ini kekuasaan hanya berada di bawah kendali seorang raja atau sekelompok orang yang memimpin untuk kepentingan diri dan atau kelompok mereka sendiri.
Maka salah satu gagasan untuk mengubah rakyat dari kaki tangan penguasa menjadi sebaliknya adalah dengan diselenggarakannya pemilihan umum. Diharapkan rakyat mendapatkan pemimpin yang lebih baik serta dapat memberikan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial lainnya. Inilah amanat Undang – Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945. Namun ternyata harapan itu hanyalah tinggal harapan. Sehingga pemilu dianggap telah gagal dalam mengemban misinya selama ini.
Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kontestasi merebut kekuasaan untuk keuntungan sekelompok orang. Rakyat kemudian hanya dijadikan seekor kerbau yang dicocor hidungnya dan diseret ke TPS pada hari pemilihan. Setelah itu dilepas kembali ke dalam hutan rimba mengurusi diri mereka sendiri. Sebelum diseret ke TPS rakyat pun diiming – imingi berbagai bentuk janji – janji politik yang sebenarnya tidak pernah ingin diwujudkan. Akhirnya pemilu hanya menjadi mesin produksi yang menghasilkan produk-produk korup dan tidak pernah memberikan perbaikan. Inilah potret pemilu di Indonesia saat ini.
Demi mengantisipasi terulangnya kembali praktek nakal para calon dalam pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara melakukan trobosan dengan membentuk tim yang disebut relawan demokrasi.
Relawan demokrasi merupakan sebuah kelompok yang dibentuk oleh KPU yang diberikan berbagai pemahaman terkait dengan etika berdemokrasi dan proses jalannya pemilu. Tugas yang diemban oleh relawan demokrasi ini ialah melakukan pemantauan, pengawasan, serta pelaporan apabila ditemukan praktek nakal dalam proses berjalannya pemilu. Namun tidak hanya itu yang paling penting juga ialah melakukan sosialisasi arti, peran dan fungsi pemilu supaya tercipta pemilih cerdas yang benar – benar bebas tanpa ada intervensi dari calon – calon tertentu dalam menentukan pilihan.
Smpai sejauh ini fungsi adanya relawan demokrasi ternyata belum dirasakan keberadaannya. Padahal pemilu akan diselenggarakan hanya dalam hitungan hari. Ada beberapa kemungkinan tidak terlihatnya peran relawan demokrasi sampai sejauh ini. Yang pertama memang kerja relawan demokrasi yang di bentuk oleh KPU tidak berjalan atau kemungkinan kedua adalah terbatasnya jumlah relawan demokrasi yang tidak sebanding dengan jumlah masyarakat dilapangan sebagai sasaran tugas mereka.
Terlepas dari dua kemungkinan diatas, Sebenarnnya untuk menjadi relawan demokrasi tidak harus tergabung dalam KPU. Seiapapun bisa menjadi relawan demokrasi, yaitu semua individu dari berbagai kalangan masyarakat. Relawan demokrasi berangkat atas dasar kesadaran untuk mengembalikan peran dan fungsi pemilihan umum yang sebenarnya.
kemunculan berbagai calon legislatif secara misterius, maraknya praktek money politic, dan terjadinya transaksi politik dalam pemilihan dan penghitungan suara meruapkan tanggung jawab semua kalangan untuk mengawasi dan melaporkan segala bentuk kecurangan – kecurangan yang rerjadi agar pemilu kembali ke hakikatnya sebagai momentum untuk memilih pemimpin yang dapat mewujudkan harapan masyarakat dalam perioded lima tahun kedepan.
Beberapa aspek yang perlu untuk dipantau dan diawasi selama momen pemilu diantaranya adalah, KPU sebagai penyelengga. Komisi Pemilihan Umun (KPU) tidak boleh lepas dari pantauan bersama, meskipun KPU sendiri adalah penyelenggara. Karena tidak ada pihak yang bisa menjamin tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara. Transaksi atara KPU dan peserta rentan terjadi dalam setiap momen pemilu. Dalam hal ini demokrasi dijadikan sebagai barang dagangan. Suara hasil di pemilihan dijual dengan cara kulakan. Bagi calon yang berdompet tebal hal ini jelas sangat enguntungkan namun yang dirugikan tidak hanya calom lain, tetapi juga rakyat. Mengapa demikian? Karena calon yang punya kapabilitas sebagai pengemban amanah rakyat bisa saja gagal disebabkan prilaku ini. Maka yang mewakili rakyat lima tahun kedeoan adalah mereka yang tidak punya kapasitas sebagai pemimpin dan hanya sebagai maling.
Selain itu peserta pemilu adalah pihak yang harus mendapat pengawasan ketat. Karena berbagai bentuk kecurangan selalu bersumber dari para calon. Para calon dapat melakukan transaksi dengan pihak penyelenggara (KPU) dan bisa juga dengan pemilih. Sudah bukan rahasia lagi jika dalam satu keluarga bisa meraup hingga ratusan ribu rupiah untuk memilih seorang calon.
Desamping melakukan pengawasan diatas, tugas relawan demokrasi (setiap individu masyarakat) juga perlu melakukan sosialisasi terkait background para calon. Seperti latar belakang keluarga dan investasi sosial yang telah dilakukan selama ini. Supaya para pemilih terhindar dari kesalahan dalam menjatuhakan pilihan. Seperti menjatuhkan pilihat atas dasar imbalan berupa materi, hubungan keluarga atau kerabat, dan bukan karena melihat kapasitas seorang calon.
Beberapa langkah di atas merupakan langkah antisipatif. Dan bukan berarti peluang terjadinya kecurangan tidak ada. Untuk itu KPU dan BANWASlU perlu kiranya membuka akses yang mudah dijangkau oleh rakyat sipil di tingkatan grass root yang biasanya menjadi sasaran kecurangan. Sehingga ketika ada praktek nakal para calon dengan mudah dapat dilaporkan oleh masyarakat. KPU semestinya membentuk posko-posko pengaduan kecurangan sebelum dan pada saat berlangsungnya proses pemilihan. Karena sejauh ini masyarakat yang ingin melaporkan kecurangan tersebut kebingungan sebab KPU sulit untuk dijangkau oleh masyarakat bawah. Maka dengan adanya posko pengaduan tersebut dapat mempermudah pemantauan dan pelaporan kecurangan dalam pemilu. KPU dalam menjalankan hal itu dapat menjalin kerjasama denga ORMAS, Organisasi Mahasiswa, dan organisasi masyarakat lainnya.
Berlangsungnya pemilu yang adil, jujur, dan bersih bukan hanya dibebankan kepada sekelompok orang, akan tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menjadi relawan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H