Lihat ke Halaman Asli

Kejar Pasar, Media Massa (Tv) Obral Acara

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ciri negara demokratis adalah ditemukanya kebebasan pers atau lepas dari kontrol penguasa. Maka acara dan berita yang hadirkan bernilai objektif, sehingga menggiring masyarakat kearah tindakan yang rasional (Chomsky, 2009: 5). Inilah esensi kehadiran media massa baik cetak, elektronik, maupun online di tengah publik. Namun kebebasan di era reformasi tidak dimaknai secara substansial.

Akhir – akhir ini, kita dibuat risih dengan maraknya tayangan di TV yang terkesan hanya mengejar keuntungan materi. Acara yang ditayangkan tidak memunculkan unsur pendidikan kecuali hiburan. Hiburan memang dibutuhkan ditengah padatnya aktifitas sehari – hari yang melelahkan, namun tidak terlepas dari peran dan fungsi media massa sebagai wadah edukasi bagai masyarakat.

Pada masa Rezim Orde Baru dibawah kendali kekuasaan Soeharto, kita dapat menyaksikan bagaimana media massa dipersempit ruang geraknya bahkan dibreidel hanya karena menghadirkan pemberitaan negatif terhadap lingkaran keluarga Cendana. Sampai detik – detik runtuhnya Rezim ORBA akibat lilitan krisis moneter, media massa belum terang – terangan memberitakan ketidak adilan Soeharto, karena takut apa yang telah terjadi terhadap Tempo, Detik, Editor, dan Indonesia Raya akan terulang. Berita disajikan kepada publik cenderung berada dalam realitas simbolik seperti dalam istilah Hidayat. Artinya berita ketimpangan yang terjadi dikala itu diformulasikan dengan gaya yang tidak vulgar atau mengkritik ORBA secara langsung. Contoh misalkan seperti yang dikutip Hidayat dari majalah Prospek berikut.

Muda, ganteng dan kaya raya. Itulah Hutomo Mandala Putra, atau Tommy Soeharto. Mendirikan perusahaan di usia muda, 22 tahun, kini Tommy merupakan salah satu penguasa papan atas di negeri ini. Karena ia anak nomor satu negeri ini? “sudah takdir saya jadi anak presiden,” katanya (Hidaya, 1999: 354).

Apa yang dapat kita simpulkan dari kutipan tersebut bahwa media massa dibawah pengaruh dan kekangan Soeharto yang begitu kuat, masih tetap mempunyai komitmen untuk memberikan pemberitaan yang kritis dan konstruktif bagi masyarakat meskipun harus dibungkus dengan cara – cara yang lebih elegan. setelah bangsa Indonesia melalui gerakan mahasiswa 1998 berhasil meruntuhkan Soeharto, media massa ikut menikmati kebebasan reformasi.

Media massapun berjamuran dan dijadikan industri oleh banyak kalangan. Kebebasan pers dan menyatakan pendapat memang tidak dapat dilepaskan dari demokrasi dan bagian dari agenda reformasi 1998. Persoalannya terletak pada konten acara yang ditayangkan. Selama tayangan – tayangan yang tersaji bernilai edukasi tentu tidak perlu dipersoalkan. Seiring dengan maraknya media massa khusunya stasiun TV yang bermunculan, tayangan yang tersaji ketat dengan persaingan merebut pasar bahkan tergolong latah.

Tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak, salah satu contohnya ialah acara Campur – campur yang mengambil topik diva koplo diANTV beberapa waktu lalu. Terlebih lagi acara tersebut ditayangkan dibawah jam 22:00, dimana pada waktu itu anak – anak yang masih berada dibawah umur ikut menyaksikan. Beberapa penyanyi dangdut koplo yang diklaim memiliki tarian khas seperti Goyang itik, Gocing (Goyang mancing), dan lainnya, dihadirkan sebagai bintang tamu. Apakah pantas tarian erotis dengan pakaian minim seperti itu ditayangkan disebuah stasiun TV disaksikan oleh anak – anak dibawah umur?

Selain itu, ditengah realitas masyarakat konsumtif bentukan globalisme yang merongrong bangsa ini, tayangan – tangan di beberapa stasiun TV semestinya harus berusaha menggiring masyarakat untuk keluar dari jebakan imprialis tersebut. Bukan malah ikut meramaikan agenda globalisasi dengan meracuni bangsa sendiri. Apalagi durasi iklan akhir – akhir ini seakan menambah nuansa negatif terhadap media massa (TV). Persaingan sah – sah saja, tapi harus dengan produksi acara yang berkualitas.

Sejalan dengan hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya mengambil langkah tegas dengan memberikan teguran kepada tayangan – tayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi publik serta menindak stasiun TV yang tidak mengindahkan teguran. Tidak hanya itu, namun juga memperketat aturan – aturan penayangan acaradi TV. Semua itu perlu dilakukan untuk kepentingan publik. Melalui surat tertanggal 6 Maret 2014 KPI memang telah melayangkan surat teguran terkiat tayangan adegan yang dikategorikan berbahaya pada acara yang sama. Tetapi tayangan diva koplo di acara campur – campur juga harus mendapat teguran, sehingga tayangan serupa tidak terulang. Sesuatu yang informatif dan edukatif tentu kita harapkan tidak hanya didapat melalui tanyangan berita, melainkan seluruh acara tidak boleh lepas dari nilai tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline