Lihat ke Halaman Asli

Relawan Demokrasi, Sebuah Rekayasa Opinikah?

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Relawan demokrasi yang dimaksud dalam tulisan ini memiliki arti berbeda dengan tulisan sebelumnya yang juga mengandung istilah sama. Dalam tulisan ini, istilah relawan demokrasi mengarah pada kemunculan kelompok - kelompok yang mendeklarasikan diri sebagai pengusung pasangan capres dan cawapres tertentu secara sukarela dan bukan isltilah yang dimunculkan oleh KPU.

Kontestasi pemilihan presiden 2014 semakin memanas. Terbukti dengan maraknya black campaign yang diarahkan kepada kedua calon presiden yaitu Jokowi dan Prabowo. Selain itu, upaya untuk mendongkrak elektabilitas masing – masing calon terus dilakukan dengan berbagai cara. Fenomena belakangan ini yang marak ditayangkan di media massa adalah munculnya berbagai kalangan yang menyatakan diri sebagai relawan pendukung masing – masing pasangan calon. Dalam dunia demokrasi, hal itu sah – sah saja. Setiap orang berhak menentukan pilihan politiknya masing – masing termasuk mendeklarasikan diri sebagai relawan dari calon tertentu yang dianggap berkompeten untuk memimpin bangsa dan negara kedepan.

Namun dalam kontek pilpres 2014 ini, rawan terjadi rekayasa opini. Masyarakat diharapkan tidak hanya terpaku dengan sosok dan kelompok tertentu, sebab mereka perlu untuk dicurigai kemunculannya. Sebelum menjatuhkan pilihan politik dalam pilpres mendatang, perlu kiranya kita membangun sebuah asumsi jika relawan demokrasi yang berjamuran saat ini adalah bagaian dari strategi politik kedua pasanagan calon capres-cawapres.

Dalam pandangan penulis sendiri, munculnya kelompok – kelompok relawan pasangan calon tersebut merupakan bagian dari upaya menggiring opini publik supaya menjatuhkan pilihan kepada calon tertentu. Bagaimana cara kerjanya? Dengan menggaet tokoh, publik figur, dan kelompok masyarakat diharapkan pemilih akan mengikuti kemana arah pilihan politik idola mereka. Maka dengan demikian sasaran utama pasangan capres dan tim suksesnya ialah kalangan artis, musisi, seniman, negarawan, kiai dan ulamak,dll. Kalangan tersebut memiliki citra positif dan basis masa yang menggiurkan bagi pasangan capres dan cawapres serta dipercaya mampu mensukseskan kepentingan politik masing – masing calon. Yang mengejutkan ialah banyaknya relawan dari kalangan masyarakat awam yang juga menyatakan mendukung capres-cawapres mereka. Pertayannya, murni relawan atau hanya digiring supaya masyarakat umum melihat jika capres-cawapres tertentu dicintai dan didukung oleh rakyat sipil (wong cilik). Disinilah rakyat berpotensi besar dijadikan sebagai kawanan pandir dalam istilah Chomsky (baca: Kawana Pandir Dalam Negara Demokrasi/ Kompasiana).

Menyikapi hal itu, ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati oleh berbagai kalangan masyarakat. Mengikuti Guy Cook, harus dilihat siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa (Nutria Syam, 2013). Dengan demikian masyarakat harus melihat siapa yang berbicara. Yang dimaksud disini lebih ditekankan pada kapasitas si pembicara, tidak hanya mengacu pada profesi dan posisi sosok atau kelompok relawan. Artinya apakah sosok atau kelompok yang menyatakan diri sebagai relawan pendukung pasangan capres tertentu dalam kapasitas memahami persoalan – persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara atau mereka hanya ikut dalam euforia masyarakat lainya dan lebih parah lagi jika mereka sengaja dimunculkan.

Mengapa hal itu menjadi penting? Sebab jika sosok atau kelompok tersebut dalam posisi memahami persoalan – persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara maka besar kemungkinan masyarakat tidak akan keliru menjatuhkan pilihan apabila mengikuti mereka sebagai acuan dalam menentukan pilihan politik. Sebaliknya, jika kelompok atau sosok yang menyatakan diri sebagai relawan tidak dalam kapasitas memahami persoalan negara maka bisa berakibat fatal dengan menjatuhkan pilihan pada pasangan calon yang tidak tepat.

Jangan lupa peran dan posisi media massa yang memberitakan juga perlu untuk di cermati. Sebab privatisasi media massa mengakibatkan pemberitaan cenderung tendensius untuk mendukung kepentingan politik orang yang berdiri di belakang media massa. Sudah lumrah sejak liberalisasi sektor media sampai saat ini, kita dibuat risih dengan tayangan – tanyangan yang tidak bisa lagi dianggap netral. Akhir – akhir ini Metro TV terkesan begitu menjengkelkan dengan pemberitaan yang terliha terlalu vulgar dalam mengusung pasangan capres dan cawapres tertentu.

Disamping metro TV, pemberitaan di TV One harus pula disikapi secara objektif. Mengingat Aburizal Bakri sebagai pemegang saham media tersebut berkoalisi mengusung pasangan capres dan cawapres dari kubu yang bersebelahan dengn Metro TV. Kedua media massa ini selalu mengangkat pemberitaan mengenai relawan kedua pasanagan capres-cawapres dengan bumbu yang berbeda. Maksud dan tujuannya jika kembali menggunakan kacamata Guy Cook adalah menggiring opini publik demi mengangkat elektabilitas pasangan capres-cawapres masing – masing.

Kita semua tidak menginginkan kalau pilihan yang akan menentukan nasib bangsa dan negara ini kedepan didasarkan hanya pada euforia dan mengikuti relawan – relawan yang belum tentu memahami persoalan bangsa dan negara. Sebab banyak sekali relawan yang bermunculan dari kalangan masyarakat awam yang jauh dari akses ruang politik yang sesungguhnya, melainkan mereka hanya masuk dalam ruang politik yang sudah dipoles media massa sedemikian rupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline