Lihat ke Halaman Asli

Zalfa Ghina Khairunnisa

Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Trotoar: Milik Pejalan Kaki atau PKL?

Diperbarui: 29 Desember 2022   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Trotoar menjadi sarana dan prasarana yang wajib di kota-kota besar dengan mobilitas masyarakat yang tinggi. Namun, realitanya trotoar tidak difungsikan sebagaimana harusnya. Contoh nyata yang dapat kita lihat seperti di Bandung dan Jakarta trotoar bukan lagi milik para pejalan kaki.

Para pedagang kaki lima kini memanfaatkan trotoar sebagai tempat berjualan karena pada dasarnya mereka memang tidak memiliki kios atau tempat yang tetap untuk berjualan. Ditambah lagi kawasan pinggir jalan yang bertrotoar dilalui banyak orang sehingga peluang untuk mendapatkan konsumen tentu lebih besar.

Bila kita berkaca pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 131 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan trotoar merupakan hak untuk para pejalan kaki. Artinya, apabila trotoar digunakan untuk berjualan tentu sudah menyalahi aturan.

Namun, di luar dari aturan yang telah ada, banyak yang beranggapan bahwa trotoar merupakan ruang bersama yang bisa dimanfaatkan bersama pula, sehingga tidak menjadi masalah bagi para pedagang kaki lima untuk menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan. Padahal kenyataannya, banyak masalah baru yang ditimbulkan dari penyalahgunaan trotoar sebagai tempat berjualan oleh para pedagang kaki lima.

Permasalahan pertama yang paling umum dan dapat jelas terlihat adalah terganggunya mobilitas para pejalan kaki. Para pejalan kaki jadi banyak turun ke jalan raya agar tetap bisa lewat. Hal ini tentu membahayakan para pejalan kaki karena berjalan di tempat yang bukan seharusnya.

Selain itu, permasalahan kemacetan juga tentu tidak dapat terhindarkan. Para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar tidak memikirkan lahan parkir dan tempat antri untuk para pembelinya, sehingga seringkali memakan badan jalan yang tidak seharusnya digunakan untuk parkir.

Belum lagi permasalahan trotoar yang kebersihannya menjadi tidak terjaga karena digunakan untuk memasak, bahkan mencuci alat makan di tempat yang sama. Trotoar menjadi becek dan kotor sehingga tidak layak untuk digunakan oleh para pejalan kaki. Tentu hal ini menimbulkan ketidaknyamanan.

Di samping permasalahan yang muncul dan berdasar pada Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai trotoar, pemerintah dianggap belum bisa menyelesaikan permasalahan alih fungsi trotoar ini. Mereka mengaturnya tertulis dalam aturan, namun tidak memetakan solusinya. Bagaimana hal ini dapat terselesaikan?

Memang di beberapa kota besar sering dilakukan penertiban bahkan penggusuran paksa bagi para pedagang kaki lima yang nakal dan tidak mematuhi peraturan yang bahkan hingga berani membangun lapak berupa kios kecil di trotoar.

Namun, dengan penggusuran dan penertiban tersebut tetap saja peluang alih fungsi trotoar tetap besar. Nyatanya, banyak pedagang kaki lima yang tidak kapok dan memilih untuk menerima risiko meski harus lari terbirit-birit untuk menyelamatkan mata pencahariannya bila ada penertiban.

Pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi secara berkala untuk para pedagang kaki lima yang tidak patuh pada aturan. Misalnya, setelah dilakukan penertiban, bukan dirampas barang dagangannya untuk menimbulkan efek jera pada para pedagang, tetapi aparat atau lembaga terkait memberikan sosialisasi mengenai penggunaan trotoar dan peraturan yang ada. Dengan begitu, para pedagang kaki lima tentu tidak akan merasa kebingungan mengapa mereka ditertibkan aparat. Pun mereka tidak akan ngotot merasa benar apabila sudah paham kesalahan apa yang diperbuat dan peraturan apa yang melandasinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline