Perempuan tua itu telah terbiasa menelantarkan mimpi. Menyeret sepasang kaki rapuh mengejar jejak-jejak embun yang antarkan sepi.
Di hadapan satu potret usang, bibir itu berbisik pada lengang: Kau masih menungguku?
II/. Belum benar-benar pagi.
Perempuan tua itu telah duduk di tepi sungai. Jemarinya kukuh menggengam palu. Batu-batu sebesar tinju dihajar dengan pilu.
Di hadapan tumpukan kerikil. Segaris senyum mengarsir satu wajah mungil: Kau pasti tahu, ia bukan lagi bocah kecil!
III/. Pagi sejak lama pergi.
Perempuan itu tak lagi mengeja bias jingga. Sepasang mata tua itu telah berlumpur abu usia. Tersisa rimbunan pinta dalam doa.
Di hadapan langit senja, bibir itu terbata berucap tanya: Kau tak ingin menjemputku?
IV/. Sebelum pergi bermimpi.
Hari ini. Anak-anak muda berteriak dalam aksi. Mencaci maki dalam kemasan orasi. Kemudian berlari tanpa navigasi. Di layar televisi.
Di hadapan layar televisi mati. Segurat pasi menghiasi wajah sunyi: Ia pun sepertimu. Melupakan aku!
Curup, 01.05.2023
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H