Saat itu senja. Sepasang manusia menatap bias jingga yang perlahan sembunyi di garis pantai. Jemari mereka bertaut ragu, tapi lelah rasa mampu mangusik bisu ingin bertamu.
"Maaf, Mas. Aku mencintaimu. Tapi..."
"Aku mengerti. Belajarlah tanpa tapi!"
Kamera tiba-tiba menjauh! Beralih pada buih ombak yang tertatih menjamah bibir pantai. Hanya sesaat! Kemudian, terhenti usai satu teriakan dari mulut sutradara:
"Cut!"
Berucap Maaf tanpa Menunggu Tagihan Kata Maaf. Mungkinkah?
Aih, maafkanlah. Jangan dianggap serius! Sketsa di atas hanya guntingan lakon imajinatif! Sebagai pijakan awalku untuk menulis tema samber hari ini.
Nah. Aku coba ulik dialog pada sketsa tadi, ya?
Pada dialog singkat itu, diawali oleh sosok perempuan, dengan tiga kalimat. Namun kalimat terakhir, ucapannya tak sempat selesai.
Kalimat pertama: "Maaf, Mas!"
Mari meliarkan imajinasi. Anggaplah. Sosok perempuan itu, berada pada situasi pelik, atau malah terjebak di antara dua atau tiga pilihan sulit. Namun, lawan bicara tak tahu yang dipikirkannya.
Sehingga kata Maaf dipilih sebagai kalimat pembuka. Terkadang tak harus menunggu rasa bersalah atau di posisi salah untuk berucap maaf, tah?