Namaku Salah. Nama pemberian dari seorang lelaki yang biasa kusapa ayah.
Menurut nenekku, nama itu hadir tiga jam setelah kelahiranku. Sebab, Ayahku terlanjur sibuk di pemakaman. Menguburkan jasad ibuku.
Jika suatu saat nanti bersua, tak perlu kau meminta maaf dan mengulang tanya. Apalagi, berniat untuk membenarkan. Sebab, sebuah nama bukanlah suatu kesalahan.
Seperti saat ini. Di dalam ruangan yang asri dan tertata rapi. Di awal percakapanku dengan lelaki tua yang duduk di balik meja ukir kayu jati.
"Maafkan, jika aku keliru. Namamu..."
"Iya. Itu namaku!"
"Maksudmu, Saleh?"
"Bukan! Namaku Salah!"
Mungkin atas nama kesopanan, atau telah kenyang mencicipi asam garam kehidupan. Lelaki paruh baya itu tidak tertawa. Ia pun tak berusaha menyembunyikan tawa.
"Ceritakanlah tentang namamu."
***
Seperti buku-buku tebal sejarah. Namaku adalah sejarah usang. Namun, sejarah yang harus terus kuulang. Lagi, dan lagi.
Acapkali, wajah-wajah yang kutemui menagih kisah. Tentu saja kisah tentangku. Dan, kisah bersejarah tentang pemberian namaku.