"Dorong yang kuat!"
Lagi, satu sentakan nada menyusup ke liang telingaku.
Aliran nada itu tak berhenti di situ, terus naik dengan cepat ke puncak kepala, berserakan di batang otak yang berserabut. Kemudian meluncur dengan deras ke arah dada, memicu debar kencang di dua bilik jantung. Sebelum berhenti pelan memendam rasa pahit.
"Iya. Itu benar. Tarik dengan pelan, Nak!."
Nada suara itu sedikit menurun, namun tak menghentikan jantungku berdebar. Satu garis tipis terlihat di ujung papan kayu seberan. Limbah peti buah dari rumah Pakde Marno, tetangga sebelah rumah. Ganggaman tanganku masih gemetar memegang gagang gergaji.
"Genggamnya santai saja! Biar tanganmu tak cepat lelah!"
Kukendorkan genggaman tangan pada gagang gergaji. Tapi, aku kesulitan melakukan dorongan pada jejak garis yang telah ditinggalkan oleh mata gergaji.
"Dorong yang kuat, tarik yang pelan. Dorong kuat, tarik pelan."
Kusesuaikan gerak tangan kanan sesuai dengan perintah itu. hingga telingaku, hanya merekam dua kata bergantian : "Dorong, tarik! Dorong, tarik."
Mataku melihat mata gergaji semakin dalam terbenam di badan kayu. Semakin lama, ayunan tanganku terasa semakin ringan. Kayu berdiameter lima centimeter itupun terpotong dua.