"Logic will get you from A to Z; imagination will get you everywhere." [Albert Einstein]
Secara kelirumologi, kuterjemahkan ungkapan peraih Nobel Fisika tahun 1921 itu dengan kalimat: Logika akan membawamu dari A ke Z; Imajinasi akan membawamu ke manapun.
Kemudian, secara kiramologi, kuduga Einsten telah menyaksikan pertengkaran antara logika dan imajinasi, sehingga melahirkan Teori Relativitas yang mashsyur itu, serta dianggap sebagai pijakan awal Teori Kuantum era milenial.
Aku tak memiliki kemampuan menjelaskan Ilmu ajaib Einstein tersebut. Namun, mencoba memaknai ungkapan di atas, sebagai "Poros Tengah" dari dua kutub dunia pendidikan di Indonesia.
Semisal ungkapan, "Gue Anak IPA. Lu IPS, ya? Hahaha..."
Logika versus Imajinasi dan Kurikulum
Sejak aku masih sekolah, hingga sekarang menjadi seorang ayah. Perdebatan penuh gengsi tentang Anak IPA atau Anak IPS itu masih berlanjut. Dan, itu pun dialami anak sulungku, ketika harus menjejaki kelas 10 di Sekolah Menengah Atas.
Mungkin saja situasi yang nyaris sama, karena saat ini, sedang masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga dialami banyak orangtua. Karena jika ikut campur menentukan jurusan, khawatir tak sesuai kemampuan. Bila membiarkan anak menentukan pilihan, jejangan tak sesuai harapan. Hiks...
Dua tahun lalu, kusaksikan sulungku kesulitan memutuskan jurusan. Banyak saran dan masukan yang diterima, bukannya menghadirkan keyakinan. Malah menambah keraguan.
Gawatnya, ukuran saat mendaftar adalah nilai mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional (UN). Sialnya, mata pelajaran itu adalah Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia.
Ada ungkapan provokatif dari sebagian pelaku dan pengamat dunia pendidikan. Bahwa, sistem pendidikan di Indonesia, khususnya jika berpijak pada kurikulum, adalah menciptakan dan melahirkan "Kelas Pekerja" bukan "Kelas Pemikir".