Kali ketiga, sore itu. Bunyi sirene semakin lama semakin jelas. Dan bertambah keras saat melintas persis di depan rumah. Perlahan suaranya menghilang di udara, lenyap bersama bayangan mobil ambulan.
Namun, tidak dengan reaksi tubuh lelaki sepuh yang duduk di hadapanku. Walau berusaha keras menyembunyikan kecemasan dengan meraih tangkai gelas berisi madu, terlihat jelas tangan itu bergetar. Tremor hebat.
"Kenapa gak mau ke dokter? Siapa tahu..."
"Ini bukan tremor akibat sakit fisik, Nak!"
Kakek tersenyum, sambil meletakkan gelas di atas meja di beranda rumah. getaran tangan tua itu mulai berkurang, walau tak hilang.
"Ini trauma psikologis!"
Aku mengingat kisah Kakek. Sekali waktu, ibu pernah bercerita. Di masa pendudukan Jepang. Karena tak ada beras di rumah, Kakek nekat mencabut singkong di kebun pada malam hari. Kakek tertangkap dan ditahan selama dua hari juga mengalami penyiksaan fisik.
Bilang ibu, untung kakek masih hidup! Andai dituduh sebagai mata-mata, mungkin saja kakek terbunuh.
Akibatnya, sepuluh hari kakek tak bisa jauh dari tempat tidur. Kakek bukan seorang pencuri, sebab kebun itu milik sendiri. Namun, kakek terbukti melakukan kesalahan fatal. Melanggar jam malam.
Bukan bekas luka dari jejak penyiksaan yang membuat Kakek trauma mendalam. Tapi bunyi sirene sebagai pertanda dimulai jam malam.
"Kau beruntung, tak pernah mengenal jam malam!"