"Tahu bentuk lingkaran?"
Pertanyaan itu, kuajukan di tengah sesi sebuah Pelatihan Manajemen Organisasi. Puluhan peserta yang berasal dari unsur pemuda dan mahasiswa menganggukkan kepala.
"Silakan gambar, waktu Anda 10 detik!"
Tanpa bertanya, wajah-wajah yang terlihat bingung itu pun melakukan sesuai instruksi. Setelah itu, kuminta memperlihatkan gambar itu kepada rekan-rekan di sekitar mereka.
Apa yang terjadi? Ada yang senang, merasa sudah melakukan sesuai instruksi. Ada yang tertawa, ternyata gambar yang dibuat jauh dari bentuk lingkaran. Tapi, situasi itu hanya bertahan sesaat!
Kemudian berubah! Mereka mulai saling bertukar komentar. Menganggap gambar yang dibuat terlalu besar atau terlalu kecil. Bahkan berkembang, mencari dan menilai gambar mana yang paling benar sesuai instruksi.
Tanggapanku? Kubiarkan proses yang berjalan lebih kurang 10 menit itu. Hingga, tanpa memberikan penilaian baik-buruk atau benar-salah. Aku memberi kalimat penegas.
"Di dalam pikiran, bentuk lingkaran semua orang sama. Namun, saat digambarkan, akan ada perbedaan! Gambar yang kekecilan atau kebesaran, gambar tak sempurna seperti di pikiran, atau cara menggambar! Ada yang memulai dari kiri, ada juga yang dari kanan!"
Peserta terdiam. Aku mengambil dua kesimpulan; mereka sangat mengerti, atau tidak mengerti sama sekali.
Sketsa pelatihan di atas, sengaja kutulis sebagai pembuka artikel ini. Setelah membaca beberapa artikel dari kisah tragis seorang anak di Temanggung.
Seperti halnya bentuk lingkaran. Begitu juga perihal pandangan seseorang atau orangtua pada pola asuh anak. Baik yang mengalami langsung karena sudah memiliki anak, atau yang belum dikaruniai anak. Jika pun sama dalam pikiran, tak mungkin sama dalam tindakan.