"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan hisab, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)
Bagi yang pernah menjadi santri, hadis sahih di atas adalah hapalan wajib. Karena menjadi pijakan dasar manfaat serta raihan bagi orang yang menjalankan ibadah puasa di bulan ramadan.
Namun, hadis adalah dasar hukum kedua dalam syariat Islam sesudah alqur'an. Sebagai rujukan utama dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya, tentang kewajiban puasa dan hikmah yang terkandung di Bulan Suci Ramadan.
Bagiku pribadi, setidaknya ada 3 surat yang kuingat, dan berkaitan erat dengan Ramadan. Aku tulis, ya?
Pertama. Tentang Kewajiban Berpuasa (QS. Al-Baqarah ayat 183-185).
Perintah wajib menjalankan Ibadah puasa berpijak pada Ayat 183. "Kutiba" dalam ayat tersebut secara harfiah bermakna "dituliskan". Jika ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "diwajibkan atau diperintahkan".
Pada ayat ini juga menjelaskan, jika perintah berpuasa juga sudah ada sebelum kenabian Muhammad dan kedatangan Islam. Artinya, Umat Yahudi dan Nasrani pun mengenal puasa.
Pada Ayat 184. Puasa Ramadan bisa menjadi tak wajib bagi dua golongan. Pertama. Orang Sakit (Maaridun), Kedua. Orang dalam perjalanan (Saafirun). Namun, mereka diwajibkan untuk menggantinya di luar bulan Ramadan, sesuai dengan jumlah hari mereka tidak berpuasa.
Dalam kajian fiqh, Makna orang sakit tak hanya fisik juga psikis. Termasuk di dalamnya perempuan yang baru melahirkan atau ibu menyusui. Mereka masuk golongan "orang sakit". Dan bisa diganti denggan fiddiyah (memberi makan 60 orang miskin).
Bagaimana dengan orang dalam perjalanan? Sebagian ahli fiqh menyatakan jika menempuh perjalanan berjarak 85 KM dengan berjalan kaki seperti di masa Rasulullah. Makanya sebagian ulama menyatakan, sekarang tak ada alasan menggunakan dalil ini, sebab jarak 85 KM itu bisa ditempuh dengan singkat.